Iftitah
Allah SWT berpesan lewat wahyu-Nya (al-Alaq: 1-5), artinya :Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu-lah yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.”
Islam punya perhatian cukup tinggi agar manusia memutar akal pikiranya sehingga fungsional, oleh karena itu; pendidikan mendapatkan perhatian yang utama selain masalah ketahuidan. Surat Al-Alaq, sebagai wahyu pertama, secara tersirat menyuruh umat manusia untuk tidak serta merta “beriman” sebelum adanya “ilmu” sehingga orang bertauhid bukanlah tanpa dasar. Ruang “dialogis keimanan” ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir secara”hanif”, tanpa ada paksaan, untuk menerima ketauhidan universal Islam. Pendidikan dalam Islam bukanlah sebuah “transfer of knowledge” semata, pemindahan ilmu dari guru-murid, tanpa adanya dialog-dialog kritis dari kedua belah pihak (guru-murid), sebagaimana digambarkan dalam dialog antara Nabi Muhammad dengan Jibril saat menerima wahyu pertama di gua Hira’.
Islam punya konsep sendiri tentang pendidikan, ia tidak melandaskan diri pada hasil penelitian (metode ilmiah) saja dengan metode Rasionalisme dan Positivisme (logis-analitis) saja, akan tetapi menyertakan Wahyu Ilahi dalam perambahan akademis. Maka Pendidikan Islam disamping memanfaatkan metode penelitian dalam mengembangkan hazanah keilmuannya, juga mengkaji Wahyu sebagai sumber inspirasi merumuskan konsepnya.
Dengan demikian penelitian dengan kajian wahyu, dalam Islam ditemukan terminologi tersendiri tentang pendidikan yaitu : ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kosep ini semua bermuara pada pendidikan transformatif, pendidikan yang menghantarkan peserta didik menjadi “ahsanu taqwim”. Artinya pendidikan Islam dalam dimensi seharusnya untuk tujuan menanamkan keimanan yang mantap justru mediasinya adalah pendalaman terhadap alam ciptaan Allah, dengan makna aksiologis Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains dikembangkan dalam tujuan Tauhid yakni pengesaan zat Allah SWT.
Saat ini dunia Islam sangat lemah dal;am mengembangkan sains. Kajian pendidikan Islam tidak keluar dari pendalaman al-Quran dan Hadits secara teks dan pikiran yang terikat pada konteks kebahasaan, sementara Barat, mereka sangat piawai dalam kajian sain dan teknologi, menyebabkan konsepsi ilmu menjadi terbelah dan dikotomik.
Bila dilihat dari awal munculnya, sain yang berkembang di dunia Barat mulanya mereka peroleh dari dunia Islam. Akan tetapi pada awal era modern (abad ke-17) seperti dikemukakan Hossein Nasr, filsafat mulai berubah pelan-pelan dan akhimya memisahkan diri dari agama dan mengembangkan pemikiran untuk menggantikan agama.
Dalam konteks yang sama. Nasr juga menjelaskan bahwa keterpisahan saintis dengan nilai Islam berdasarkan pada pemahaman bahwa dunia alamiah sebagai realitas dianggap terpisah dari Allah. Sedangkan Islam memahami ilmu berdasarkan pada keesaan (kesatuan) Allah. Ironis memang, apalagi pendidikan Islam berkiblat pada Paradigma Sekuler itu. Dengan demikian patutlah Islam kembali merekonstruksi pemikiran filosofisnya untuk melihat pendidikan sebagai sebuah kesatuan dengan misi kerasulan dan tak terbantahkan pula bahwa Islam itu bukan saja agama akan tetapi sekaligus ilmu dalam pengertian sebagai alat untuk bertuhan dan taat beragama.
TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB
Ta’lim, secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal , ta’lim merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju ; dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang digambarkan dalam surat (an-Nahl ayat 78), “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Ta’dib, merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban,yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas , kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam.
Tarbiyah, merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan mangasuh, mendididk dan memelihara.
Al-Raghib al-Asfahani memberikan pengertian bahwa tarbiyah merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara setahap demi setahap. Juga sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap demi setahap dan dilakukan sesuai pada batas kemampuan.
Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
Istilah ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah dapatlah diambil suatu pemahaman. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak.
Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Sehingga dengan pemaparan ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiganya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, perfect man, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini dengan baik. Artinya dalam implementasi esensinya ketiga kata ini tidaklah dapat terpisahkan dan harus sinergis untuk mewujudkan manusia paham dan beraktivitas sesuai tujuan penciptaannya yakni Syahadah Kepada Allah (al-A’raf ayat 72), fungsi penciptaannya yakni sebagai Pengabdi pada-Nya (al-Zhariaat ayat 56) dan tugas penciptaannya sebagai Khalifatullah fil ardhi (al-Baqarah ayat 30).
Sebagai tujuan penciptaan, bahwa manusia muncul di bumi Allah ini adalah untuk mengaktualisasi syahadahnya yang diikrarkan pada masa azali , ketika itu semua manusia berikrar bahwa Allah sebagai Tuhan pencipta, pendidik dan pemelihara. Dengan demikian hidup duniawi ini adalah sebagai media untuk memperkokoh ikrar itu sehingga tidak dalam ucapan belaka, akan tetapi teryakini dengan baik melalui pembuktian yang emperik dan objektip bahwa Allah itu sangat agung dan perkasa.
Maka dalam konteks pendidikan secara epistemologis dan metodologis pemahaman bahwa pendidikan diselenggarakan adalah dalam tujuan mengawal terwujudnya syahadat Tauhid yang berkualitas dan bersarang pada keyakinan qolbiah dengan dukungan ilmu. Sehingga alam sebagai sebuah keharusan yang dikaji dalam pendidikan Islam menjadi sebuh instrumen pemantapan Tauhid. Dari sisi inilah pendidikan itu berfungsi sebagai jembatan tauhid. Baru kemudian diwujudkan pula tujuan praktisnya yakni alam sebagai mitra hidup manusia menuju tatanan peradaban yang anggun dan harmonis.
BELENGGU PADA PENDIDIKAN ISLAM
Ada beberapa terali besi yang membelenggu umat Islam dalam konteks kehidupan bidang pendidikan, diantaranya adalah; pertama, tidak menjadikan Ilmu Alam sebagai intrumen bertauhid, artinya pendidikan Islam tidak mengkaji alam dalam kepentingan penanaman dan penghayatan serta kesadaran bertauhid. Bukankah hal itu mengabaikan anjuran Allah SWT. Padahal selama masa di Mekkah, Rasulullah saw menerima wahyu secara umum merupakan ayat-ayat yang berkenaan dengan ajakan untuk mengkaji alam ciptaan Allah SWT, karena ketika itu program kerasulan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mengentaskan ketauhidan.
Dalam sebuah komentarnya, Imam Suprayogo menuturkan; “Terkait dengan bangunan keilmuan, sudah lama saya merenung. Pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya, adalah mengapa telah muncul sebutan ilmu ke-Islaman hanya sebatas meliputi Ilmu syariat, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tarbiyah, Ilmu Dakwah, dan Ilmu Adab. Sedangkan selain itu dianggap bukan sebagai bagian ilmu ke-Islaman, melainkan ilmu umum. Dengan pembagian itu, pikiran saya merasa terganggu, apalagi jika saya bandingkan dengan isi al Quran yang selama ini saya pahami. Al Quran dan juga hadits Nabi, sepengetahuan saya adalah kitab berisi petunjuk dan penjelasan yang menyeluruh, terkait dengan kehidupan ini. Al Quran berbicara tentang Tuhan, penciptaan, manusia, alam semesta, dan juga keselamatan. Tatkala berbicara tentang Tuhan, al Quran memberikan penjelasan tentang siapa Tuhan itu sebenarnya, dan dengan berbagai sifat-sifat-Nya yang mulia. Demikian pula al-Quran berbicara tentang penciptaan, baik penciptaan manusia maupun jagat raya ini. Al Quran begitu komprehensif tatkala berbicara tentang manusia, melampaui apa yang diperbincangkan oleh ilmu-ilmu sosial, yang meliputi sosiologi, psikologi, sejarah, dan antropologi. Al Quran juga berbicara tentang perilaku manusia secara menyeluruh, yang menyangkut qalb, nafs, aql dan jasad. Al Quran berbicara pula tentang alam. Tatkala memperkenalkan alam, al Quran berbicara tentang tanah, api, gunung, laut, udara, hujan, air, bulan, matahari, langit, binatang, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya. Al Quran memberikan penjelasan tentang alam, ----dalam hal-hal tertentu---- melampaui temuan-temuan manusia melalui observasi, eksperimen, dan penalaran logisnya”.
Kedua, tidak dapat kita pungkiri, saat ini banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmurkan diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. ‘Gelar’ dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya biaya pendidikan yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan.
Keterjebakan ini sangat merusak kemuliaan missi pendidikan Islam itu, sehingga sedemikian pragmatis diperlakukan segala yang terkait dengan penidikan. Sangat tepat komentar Admin : “Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk, yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang berakhlak. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, diniyah dan akhlak seperti terabaikan, bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi”.
Dalam pendidikan Islam yang sebenarnya, anak didik disamping mendapat ilmu mereka juga akan mendapat keyakinan yang tertanam dalam hati mereka tentang kehebatan Allah, Maha Berkuasanya Allah, Maha Kaya Allah, dsb. Ironisnya hal tentang keilahian seperti ini sudah dipisahkan dari pendidikan yang ada dan tidak terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan kita, artinya sebetulnya pendidikan kita sudah sekuler walaupun berlabel Islam. Bahkan buka cuman sebatas itu, pendidikan Islam secara tidak langsung telah terjebak dalam lingkaran mental kapitalisme. Padahal bahaya kapitalisme inilah yang telah menjerat kehidupan global dengan dampak emisi di bumi . Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan seyogianya dibangun di atas wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu mencerminkan dan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan. Sehingga dunia dikelola bukan untuk pemuas keinginan dan hawa nafsu akan tetapi sekedar mengambil hal-hal yang menjadi kebutuhan mengabdi pada-Nya.
Memang, sudah lama dirasakan, salah satu persoalan besar dalam pendidikan menyangkut konsepsi ilmu yaitu terpilahnya atau dikotomi bangunan keilmuwan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Konsekuensi dari pemisahan ilmu ini adalah produk pendidikan membentuk dua kelompok ilmuwan, kelompok ilmuwan agamawan dan kelompok ilmuwan umum. Kelompok ilmuwan umum menjadikan alam sebagai objek yang dipahami bahkan dikembangkan apa adanya sesuai dengan tingkat penguasaan terhadap gejala alam tersebut, sedangkan kelompok ilmuwan keagamaan melakukan penelitian terhadap wahyu dengan berbagai ragam metodologi dan penafsiran.
Munculnya istilah dikotomi ilmu mulai terjadi pada abad pertengahan. Setelah ditempuh pertarungan kurang lebih 250 tahun, atau dikenal dengan gerakan Renaissance (abad 15) dan Aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai. Di saat itulah terjadinya benih “sekulerisme” di dunia Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan terhadap agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir ilmiah.
Pada saat yang bersamaan kondisi umat Islam telah mengalami kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan. Kemunduran umat Islam sesungguhnya telah dimulai sejak runtuhnya aliran mu’tazilah yang kemudian berakibat pada cara berpikir umat Islam yang tidak lagi mau menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang mempunyai nilai agama. Hal ini terus terpuruk oleh situasi politik negeri Islam yang tidak menentu, yang berakibat pula pada rapuhnya sistem pendidikan Islam. Faktor di atas merupakan salah satu sebab ketidak harmonisan atau dikotomis.
Usaha untuk keluar dari kemelut tersebut, saat ini studi agama dikembangkan dan telah menjadi trend serta cukup pesat perkembangannya baik di belahan dunia Timur maupun di belahan dunia Barat. Persoalannya kemudian adalah tentang fungsi wahyu sendiri; sudahkah ia teraktualisasi sehingga menjadi proporsional sebagai hudan dalam dinamika hidup.
Begitu juga dengan kelompok ilmuwan sekuler, mereka memang pesat mengembangkan sains sehingga menghantarkan manusia dari pola hidup tradisional kepada modern dengan dukungan teknologi. Namun sudah proporsionalkah peranan sains dan teknologi mengangkat citra kemanusiaan dilihat dari aspek aksiologinya?
Jika kita melihat kondisi ilmuwan, sangat memprihatinkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini ditunjukkan dengan negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim hanya memiliki pakar iptek kurang dari 100 orang/ sejuta penduduk (Indonesia 64 orang/ sejuta), sementara di kalangan non Muslim memiliki rata-rata lebih dari 2000 pakar/ sejuta penduduk( Israel 800 pakar/ sejuta ).
Memperhatikan kondisi dan komposisi pakar iptek seperti itu, mudah dipahami kalau arah perkembangan iptek tidak bernuansa agama (Islam). Apalagi sejak awal masa Renaisans, dengan sengaja dikembangankan secara sekuler, sebagai akibat adanya benturan antara gereja dengan para pakar iptek.
Dalam konteks pendidikan, ini artinya proses pengembangan ilmu dan penerapannya dalam bentuk teknologi telah didominasi oleh dorongan hedonistik yang sama sekali kurang memperhatikan makna atau penghayatan terhadap esensi hidup. Sebagai konsekuensi kenyataan itu, tidak jarang kemudian kemajuan iptek di samping mendatangkan dan meningkatkan kesejahteraan materi, menimbulkan dampak negatif yang sangat meresahkan. Dampak negatif itu bukan hanya bersifat fisik (polusi, kerusakan lingkungan, dan lain-lain), tetapi juga bersifat sosial (budaya dan moral atau akhlak). Apalagi dengan berkembangnya ilmu yang merekayasa genetika yang memungkinkan manusia melakukan kloning dan pembuatan “makhluk transgenik”.
Berkaitan dengan hal di atas, Prof. Muliyadi Kertanegara menawarkan upaya integrasi ilmu yaitu memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum. Kata lain yang sering digunakan dalam konteks integrasi ilmu adalah “Islamisasi ilmu”. Konsep integrasi ilmu dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid, kesadaran keimanan dan kesadaran untuk mengagungkan-Nya. Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai “tiada Tuhan selain Allah”, yang merupakan tujuan dari pendidikan Islam. Dalam usaha pengislamisasian ilmu pengetahuan kita harus meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip-prinsip Tauhid dalam arti epistemologi seluruh ilmu pengetahuan harus dilandaskan pada nilai-nilai yang bersumber pada ke-Esaan Tuhan.
Wawasan dari konsep ini tidak sebatas hanya mengimani terhadap enam rukun iman yang telah baku itu secara substantif. Implikasi pemahamannya akan menghasilkan munculnya telaah ke-Esaan Allah SWT sebagai suatu prinsip yang mengarah pada semua segi kehidupan manusia dan alam semesta sekaligus sebagai pengikat dan pengatur semua realitas.
Upaya integrasi ilmu ini diharapkan dapat menciptakan suatu produk yang dapat memberikan kesejahteraaan bagi hidup manusia, mewujudkan manusia ideal (ulul albab) yang selalu berpikir dan berzikir yang digambarkan sebagai insan-insan yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam dirinya. Ia mencintai Allah dan Rasul di atas segala-galanya, dan basah lidahnya dengan Dzikrullah, serta mendapatkan pencerahan atas kekaguman dan perenungannya mengenai alam semesta ciptaan-Nya. Ia secara sadar mengaktualisasikan potensi- potensi dirinya (akal budi, perasaan, nurani, imajinasi, rohani) serta berusaha untuk meningkatkan kualitas diri, mengakrabkan hubungan antara pribadi, melestarikan lingkungan, mencapai kedalaman rasa keberagamaan, dan menyebarkan kebajikan ke sekitarnya.
TAUHID PENDIDIKAN SEBAGAI KEMESTIAN
Dalam sejarahnya di awal dunia Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu umum dan agama, bahkan seperti yang disampaikan di atas, bahwa mempelajari alam merupakan wadah dalam penyempornaan iman. Maka dunia pendidikan benar-benar berdasarkan pada konsep tauhid yakni keutuhan pendidikan dalam artian tidak berpisahnya antara kajian wahyu dengan alam. Sebab keduanya mustahil dapat dipisahakan, sebab yang satu adalah kalam Ilahi sedang yang lainnya perbuatan-Nya.
Akan tetapi sangat disayangkan setelah terjadi perseteruan kalangan filosof muslim, khususnya antara al-Gazali dengan Ibn Rusyd, justru pada dekade berikutnya muncullah dikhotomi ilmu, dan pendidikanpun menjadi terpecah orientasinya sehingga pada gilirannya dunia Islam menjadi sangat melenceng dari tuntunan al-Quran dan Hadits Rasul dan dikenallah istilah Sekolah Agama dengan Sekolah Umum dengan masing-masing kurikulumnya. Uraian di bawah ini menggambarkan ketika umat Islam merespon pikiran yang muncul pada awal kemunduran Islam begitu saja tanpa ada usaha kritisasi dan antitesa terhadap tesis-tesis yang belum tentu baik kedepannya. Akibatnya adalah terpolarisasinya Ilmu kedalam dua bidang yang satu sama lain pada akhirnya tidak saling berhubungan, pembidangan itu adalah : Ilmu Agama dan Ilmu Umum.
1. Macam-macam Ilmu Agama
Menurut Al-Ghazali, ilmu agama terdiri dari:
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar meliputi:
1). Ilmu tentang keesaan Ilahi (ilmu tauhid).
2). Ilmu tentang kenabian. Ilmu ini juga berkaitan dengan ihwal para sahabat serta penerus religius dan spiritualnya.
3). Ilmu tentang akhirat dan eksatologis.
4). Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Sumber pengetahuan ini ada dua, yakni sumber primer: Al-Qur’an dan As-Sunnah; dan sumber skunder, yakni ijma’ dan tradisi para sahabat.
Ilmu tentang sumber pengetahuan religius terbagi menjadi dua kategori:
a). Ilmu-ilmu pengantar alat, atau ilmu kebahasaan.
b). Ilmu-ilmu penyempurna, yang terdiri dari:
(1). Ilmu-ilmu qur’an.
(2). Ilmu tentang hadis nabi, seperti ilmu dirayat dan riwayat hadis
(3). Ilmu-ilmu tentang poko-pokok hukum Islam.
(4). Biografi yang berhubungan dengan kehidupan para nabi, sahabat dan orang-orang terkenal.
b. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu:
1). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
2). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, ilmu-ilmu ini terdiri dari:
a). Ilmu tentang transaksi
b). Ilmu tentang kontraktual. Ilmu ini berhubungan terutama dengan hukum keluarga.
3). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri. Ilmu ini membahas kualitas-kualitas moral ilmu.
Menurut Ibn Khaldun. Ilmu naqli (agama) terdiri dari:
a. Tafsir dan Hadis
b. Fiqih
c. Tafsir ayat mutasyabihat
d. Kalam
e. Tasawuf
f. Tabir mimpi
2. Macam-macam Ilmu Umum
Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, yaitu:
a. Matematika, yang terdiri dari aritmetika, geometri, astronomi, dan aksiologi
b. Logika
c. Fisika, atau ilmu alam, yang terdiri kedokteran, metereologi, neurologi, kimia.
d. Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika meliputi: pengetahuan tentang esensi, sifat, pengetahuan tentang substansi sederhana, yaitu intelegensi.
Secara global ilmu umum dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Jika objek kajiannya adalah alam jagat raya, seperti langit, bumi serta segala isi yang ada diantara keduanya, yakni matahari, bulan-bintang, tumbuh-tumbuhan, binatang, air, api, udara, batu-batuan dan sebagainya dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium, pengukuran, penimbangan dan sebagainya maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam (natural sciences), seperti ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi dan lain sebagainya.
b. Jika objek kajiannya perilaku sosial dalam segala aspeknya, baik perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku agama, dan lain sebagainya yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sosial, seperti wawancara, observasi, maka yang dihasilkannya adalah ilmu-ilmu sosial seperti ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu budaya, sosiologi, antropologi dan sebagainya.
c. Jika objek kajiannya adalah akal pikiran atau pemikiran yang mendalam dengan menggunakan logika terbimbing yang dihasilkan adalah filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.
Dalam telaah Abuddin Nata al-Gazali membagi Ilmu terhadap dua kategori yakni Ilmu tercela dan Ilmu terpuji, sementara jenis yang kedua dibagi pula kedalam dua tingkatan dalam konteks mempelajarinya, yakni Ilmu Fardhu ‘Ain dan Ilmu Fardhu Kifayah.
Dari pikiran al-Gazali ini, sangat cocok pada zamannya, sebab pikiran beliau itu muncul pasti bertujuan untuk merespon kecendrungan pemikiran intelektual ketika itu yang cukup dominan dalam meminati hal-hal yang bersifat rasional, sehingga perdebatan dan polemik filosof, khususnya koreksi beliau terhadap Ibn Rusyd lewat Tahafut al-falasifah adalah sesuatu yang sangat normal dan kemestian. Hanya letak persoalannya adalah kelemahan dunia Islam meresponnya secara proporsional yang sampai saat ini nyaris belum muncul sintesis dari dua pola pemikiran yang satu sama lain punya jarak yang sangat jauh. Sehingga pengikut rasionalis mengejewantah dalam alam rasionalisme dengan mendewakan akal, dan yang mengutamakan dominasi agama (spritual) mengeristal menjadi tasauf (mistisisme). Padahal kedua pola ini adalah dua sejoli atau sepasang bentuk berpikir yang harus tetap bersinerjis.
Oleh karena itu epistemologi integralistik sangat dibutuhkan dan harus dikembalikan pada habitat yang sebenarnya. Peraktisnya adalah secara aksiologis pengetahuan alam bukan sekedar pelajaran untuk mengenal alam sehingga dapat dikelola dan diambil manfaatnya, akan tetapi lebih pokok lagi pengetahuan alam adalah menjadi dalil aqli dalam mengenal Allah untuk mewujudkan tauhid yang benar. Maka dalam konteks ini kajian agama dan alam dalam kurikulum pendidikan Islam saat ini tidaklah tepat bila ada kategori fardhu ‘ain dan kifayah yang satu sama lain berjauhan, sebab bila ia dikategorikan seperti dengan jarak yang saling membelakangi, itu akan dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip tauhid. Kebutuhan dalam konteks ini adalah pemahaman yang terbangun untuk melihat kajian agama dan alam adalah dua sisi mata uang yang sudah menjadi pasangan yang satu dengan lainnya tidak mungkin terpisahkan. Teks ajaran butuh pembuktian di alam, dan kajian akliah tentang alam butuh petunjuk syari’ah. Inilah yang harus dibangun dalam pendidikan Islam dengan prinsip Tauhid Pendidikan. Bahkan konsep ilmu dalam pendidikan Islam adalah sesuatu yang paling prinsipil untuk ditangani. Karena pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spritual. Konsekwensinya kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spritual manusia. Artinya ilmu bukan bebas nilai, akan tetapi ilmu sarat dengan kesadaran nilai. Dan Al-Attas melihat saluran atau jendela pengetahiuan manusia termasuk intuisi (ilham) dan berita yang benar (al-khabar al-shadiq) disamping temuan panca indra dan akal sehat.
Bila lebih jauh ditelusuri tentang manusia dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan, kenyataannya setiap manusia punya bekal yang amat lengkap diciptakan yang maha agung itu, hanya kadang manusia sering terpeleset pada suatu cara pandang dalam hidup sehingga adanya perbedaan jenis cendrung menjadi sumber pertentangan, padahal sikap seperti itu sangat tidak sejalan dengan watak dasar ajaran Islam. Uraian pikiran dari Erbe Sentanu patut menjadi masukan penting, bahwa : Tuntunan bijak dan falsafah hidup yang diturunkan sejak dahulu selalu mengatakan bahwa alam semesta beserta isinya berasal dari satu sumber energi abadi yang kekal dan menyeluruh. Sumber ini memiliki kekuatan, kecerdasan dan kesadaran yang tak terbatas dengan sifat alamiahnya yang bijak, penuh kedamaian, kasih sayang, kebahagiaan, dan maha lengkap-semporna. Manusia diciptakan oleh Sumber yang SATU ini pula, untuk memahami serta mengalami kembali hakekat per-SATU-an maupun ke-SATU-an sambil menikmati keanekaragaman sebagai tujuan hakiki hidupnya.
Selanjutnya Sentanu memberi gambaran tentang manusia bahwa Tuhan menganugerahi dua otak, yakni kiri dan kanan. Satu dan lainnya punya kemampuan dan fungsi tersendiri. Manakala potensi itu digunakan tidak sinerjis, yang kiri jalan sendiri dan lainnya juga demikian, maka muncullah kekacauan dalam diri orang dimaksud. Oleh karena itu perbedaan kemampuan otak kiri dan kanan bukan untuk dipisahkan, akan tetapi kenyataannya kiri dan kanan harus disinergiskan untuk sebuah prestasi gemilang manusia. Prof. Dr. HM. Nurhalim Shahih seorang ahli Biokimia, sebagaimana dikutip Sentanu bahwa menurutnya: Tingkat kemampuan berpikir logis dan tingkat kemampuan berperasaan bervariasi antar individu (dan) manusia yang dapat mencapai keseimbangan antara keduanya akan berhasil hidup dunia dan kahirat.
Dalam perspektif ini, aktualisasi diri menjadi sesuatu yang sangat penting dalam tujuan pendidikan Islam, hanya saja perlu dibedakan bahwa aktualisasi diri disini tidak sama dengan pandangan barat yang hanya terpusat pada pandangan fisik belaka, akan tetapi aktualisasi diri disini seperti yang digambarkan Al-Attas bermakna penyadaran terhadap tujuan utama dari penciptaannya, fitrahnya, yang pada akhirnya, mengetahui dan mengaku Tuhan sebagai pencipta, dan mengatur kehidupannya sebagai khalifatullah, dengan penuh hikmah keberanian, kesabaran dan keadilan.
Dengan pandangan ini, semakin nyata bahwa manusia dengan dasar fitrahnya, bukan saja akal dan pisik yang dikembangkan dalam alam pendidikan akan tetapi berdasarkan pendekatan Tauhid atau prinsip ke-SATU-an itu, juga harus sekaligus unsur ruhaniah-spritual yang memiliki kemampuan menyadari itu harus mengikat pertumbuhan akal dan pisik. Sebab esensi fitrah manusia adalah ia lahir kebumi merupakan makhluk yang membawa potensi ke-Islam-an kian, yakni kesadaran dan ketundukan pada Allah, dengan sebuah ungkapan komitmen (syahadah) yang bersifat laten seperti disinggung di atas (al-a’raf:72).
Pikiran inilah yang mesti dituangkan dalam kurikulum pendidikan, dan untuk kasus Indonesia bahwa kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan pengewajantahan dari paradigma di atas. Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara guru besar UIN Jakarta ini, menjelaskan bahwa : Perubahan dari IAIN ke UIN telah menimbulkan banyak problem epistemologis, yang harus segera dicarikan jalan keluamya. Problem tersebut pada dasarnya bermuara pada adanya dikotomi ilmu antara ilmu agama di satu pihak, dengan ilmu umum. Walaupun dikotomi tersebut telah lama dikenal dalam dunia Islam, tetapi itu tidak sampai kepada penolakan status ilmiah masing-masing. Tapi dalam sistem keilmuan modern, dikotomi ilmu agama dan ilmu umum telah sampai pada taraf penolakan validitas keilmuan masing-masing kelompok ilmu tsb. Dikotomi di atas di masyarakat Indonesia telah menimbulkan kesan yang keliru bahwa hanya ilmu agama yang memiliki nilai religius, sedangkan ilmu umum sepenuhnya profan. Problem lain dari dikotomi seperti itu adalah timbulnya kesenjangan tentang sumberi lmu. Para pendukung ilmu agama hanya menganggap sah dengan sumber-sumber ilahi, sedangkan ilmuwan sekuler menganggap sah hanya infromasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi. Dikotomi yang ketat di antara dua kelompok ilmu itu juga telah menimbulkan perbedaan pendapat tentang entitas apa saja yang bisa dipandang sebagai objek yang sah dari ilmu. Demikian juga dikotomi tersebut telah menimbulkan disintegrasi klasifikasi ilmu. Sains modern cenderung hanya memfokuskan diri hanya pada cabang ilmu fisika, sementara banyak sarjana Muslim seperti al-Ghazali cenderung memberi penekanan yang lebih kuat pada lmu-ilmu agama. Dikotomi ini juga telah menimbulkan problem dalam bidang metode ilmiah. Sains modern menggunakan hanya metode observasi, sedangkan sistem keilmuan Islam, dengan keyakinannya pada entitas-entitas ghaib, mau tak mau harus menggunakan metode i lmiah yang lain, seperti metode burhani, irfani dan bayani.
Selanjutnya beliau (Mulyadhi) ungkapkan bahwa untuk menuju Epistemologi Islami maka; Sebagai lembaga pendidikan Islam, UIN seyogyanya mengembangkan sebuah epistemologi yang Islami, karena kalau tidak maka pertanyaan apa perbedaan belajar ilmu-ilmu umum di UIN dan universitas umum, akan tetap menggantung dan menjadi duri dalam daging. Bukan itu saja, UIN juga perlu mengembangkan sebuah epistemologi yang bersifat terpadu, dalam rangka mengatasi semua problem yang timbul akibat sistem keilmuan yang dikotomis. Maka tandas beliau; basis utamanya adalah tauhid; Ajaran utanma Islam adalah tauhid. Tauhid juga telah dijadikan sebagai basis utama epistemology Islam. Bahwa ilmu adalah upaya untuk mengenal realitas sesuatu, maka semua realitas apa pun haruslah bersandar pada Realitas Ultimate, yang tidak lain daripada Tuhan sendiri. Dengan bersandar pada realitas Mutlak, maka status ontologis entitas-entitas yang lain juga kemudian dikuatkan. Oleh karena itu basisnya ; Demikian tegas pemisahan dari kedua kelompok ilmu tersebut, sehingga banyak di antara yang kehilangan akal bagaimana mengintegrasikannya. Padahal menurut saya, hal tersebut bisa di atasi dengan menemukan basis integrasi yang sama antara ilmu-ilmu umum dan agama. Dan basis integrasi itu bisa ditemukan dalam kenyataan bahwa baik ilmu agama maupun ilmu umum sama-sama mengkaji ayat-ayat Allah. Ilmu agama ayat-ayat Allah tadwini, ilmu umum ayat-ayat kauni.
Maka haruslah disatukan semua objek. Dengan kecenderungannya yang kuat pada positivisme, sains modern hanya mengakui objek-objek empiris, dan menolak semua semua entitas non-fisik sebagai objek sah ilmu pengetahuan. Dalam tradisi ilmiah Islam, bukan hanya objek-objek empiris (mahsusat) yang diakui status ontologisnya, tetapi juga objek-objek non-empiris( ma'qulat), sehingga sebuah sistem epistemologi yang integral sangat mungkin dibangun. Model integrasinya adalah : Dengan fokusnya hanya pada objek-objek empiris, sains modern menolak bidang bidang keilmuan non-fisik baik matematik maupun metafisik. Integrasi ketiga bidang tersebut hanya mungkin tercipta dalam sistem epistemologi yang mengakui status ontologis objek-objek fisik dan non-fisik. Padahal dalam tradisi ilmiah Islam, ketiga macam objek tersebut telah menghasilkan berbagai bidang ilmiah yang integral: fisik, matematik clan metafisik.
Sementara untuk wilayah sumber Ilmu perlu mempertimbangkan :
• Ketika sains modern membatasi objek-objeknya hanya pada entitas-entitas fisik, maka sumber atau alat utama yang mereka pakai untuk memperolehi lmu adalah indera (sense perception).
• Tetapi karena sarjana-sarjana Muslim percaya bukan hanya pada objek-objek fisik, tapi juga objek non-fisik, maka mereka telah mengafirmasi sumber lain dari ilmu yaitu akal, intuisi dan wahyu .
Dari pemikiran yang dikemukakan Mulyadhi di atas, maka UIN adalah sebuah jawaban bagi krisis kehidupan yang makin kompleks, sebab sangat dirasakan bahwa berbagai persoalan yang muncul akhir-akhir ini tidak lain dikarenakan manusia melupakan Tuhan dalam mendekati dan memanfaatkan alam dengan melalui pengembangan sain dan teknologi, maka tidak ada jalan lain keculai menuju upaya mengintegrasikan ilmu dengan wahyu dalam sebuah bangunan keilmuan sebagaimana yang dilakukan UIN.
Maka pantas jika Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam sebuah perbincangan mengatakan bahwa : ''Pemeintah nampaknya masih melihat Islam dari sisi agama saja. Padahal di Al-Quran jelas ditegaskan bahwa kita sebagai manusia wajib mengembangkan ilmu pengetahuan,'' tegas Imam. ''Kami harap dengan menteri agama yang baru ini, mampu mengembangkan UIN baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tentunya juga diikuti oleh kebijakan-kebijakan dari pejabat-pejabat Depag di bawah Menteri agama,'' tegas Imam.
Imam mengakui bahwa dirinya sempat berbincang-bincang dengan Menag Suryadharma Ali dalam satu kesempatan. Dari perbincangan tadi intinya adaah ada keinginan dari Menag untuk terus mengembangkan pendidikan Islam di negeri ini, termasuk mengembangkan PTAIN dan UIN. Menurut Imam, walaupun nantinya mungkin kebijakannya bukan membuka UIN baru, minimal adalah STAIN-STAIN yang ada, bisa diisi dengan keilmuan-keilmuan umum seperti pertanian, kelautan dan lainnya. Dikatakannya, idealnya UIN-UIN ini nantinya tidak hanya terdapat di setiap ibukota provinsi, namun juga di tingkat kabupaten/kota. Imam yakin pemerintah daerah (pemda) juga akan menyambut baik jika pemerintah mengembangkan UIN di daerah-daerah. Ia mencontohkan Bupati Curup yang sangat antusias dengan dunia pendidikan tinggi Islam ini.
Keinginan ini tentu tidaklah didasarkan pada sebuah ambisi rendahan, akan tetapi merupakan buah pikiran yang amat logis dan bijaksana, bahwa dengan jalan membenahi pendidikan yang bernuansa dikhotomik inilah kerisis kemanusiaan dapat diselamatkan, sebab krisis multidimensional berawal dari rapuhnya dunia pendidikan, maka penyelsaiannya adalah merekonstruksi pendidikan.
KESIMPULAN
Tulisan ini berkesimpulan bahwa krisis kemanusiaan dan ekologis saat ini berpangkal dari bergesernya paradigma dan epistemologi pendidikan yang digerakkan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menghasilkan teknologi sehingga muncul rekayasa sosial dalam wujud kemodrenan. Karena dasar falsafahnya mengabaikan dimensi spritual maka pendidikan dan peradaban manusia menjadi cendung materialisme dan meniadakan kehadiran Tuhan dalam proses peradaban itu. Padahal awal Islam dengan wahyu sucinya telah menggariskan bahwa untuk mengenal Tuhan dan bisa dekat dengan-Nya haruslah dibantu alat yang disebut ilmu pengetahuan. Iqra dalam surah al-‘Alaq menjadi sebuah landasan paradigmatik dalam menumbuhkan iman yang haqiqi. Paling tidak ayat ini memberi pemahaman bahwa ilmu dipelajari adalah untuk tujuan mengenal Allah dan sekaligus dalam tujuan praktis dan pragmatis manusia untuk mengambil manfaat alam mewujudkan hidupnya yang layak
Dengan konsep tauhid pendidikan, maka landasan epistemologis dan aksiologis keilmuan dan merumuskan sistem dalam melahirkan manusia menjadi abdullah dengan tugas khalifatullah memungkinkan adanya sebab sudah diawali dengan terkondisinya kesesuaian antara lahan tempat tumbuh dengan hasil yang dicita-citakan. Dalam pengertian keluar dari sistem sekularisme menuju filsafat integralisme. Karena sistem yang sekularisme itu tetap saja akan melahirkan manusia yang split-personaliti dan hanya dengan sistem integralisme itulah memungkinkan muncul manusia seutuhnya.
Sabtu, 02 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)