Sabtu, 02 Januari 2010

TAUHID PENDIDIKAN (Sebuah Orientasi Untuk Keluar Dari Belenggu)

Iftitah

Allah SWT berpesan lewat wahyu-Nya (al-Alaq: 1-5), artinya :Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu-lah yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.”
Islam punya perhatian cukup tinggi agar manusia memutar akal pikiranya sehingga fungsional, oleh karena itu; pendidikan mendapatkan perhatian yang utama selain masalah ketahuidan. Surat Al-Alaq, sebagai wahyu pertama, secara tersirat menyuruh umat manusia untuk tidak serta merta “beriman” sebelum adanya “ilmu” sehingga orang bertauhid bukanlah tanpa dasar. Ruang “dialogis keimanan” ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir secara”hanif”, tanpa ada paksaan, untuk menerima ketauhidan universal Islam. Pendidikan dalam Islam bukanlah sebuah “transfer of knowledge” semata, pemindahan ilmu dari guru-murid, tanpa adanya dialog-dialog kritis dari kedua belah pihak (guru-murid), sebagaimana digambarkan dalam dialog antara Nabi Muhammad dengan Jibril saat menerima wahyu pertama di gua Hira’.
Islam punya konsep sendiri tentang pendidikan, ia tidak melandaskan diri pada hasil penelitian (metode ilmiah) saja dengan metode Rasionalisme dan Positivisme (logis-analitis) saja, akan tetapi menyertakan Wahyu Ilahi dalam perambahan akademis. Maka Pendidikan Islam disamping memanfaatkan metode penelitian dalam mengembangkan hazanah keilmuannya, juga mengkaji Wahyu sebagai sumber inspirasi merumuskan konsepnya.
Dengan demikian penelitian dengan kajian wahyu, dalam Islam ditemukan terminologi tersendiri tentang pendidikan yaitu : ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kosep ini semua bermuara pada pendidikan transformatif, pendidikan yang menghantarkan peserta didik menjadi “ahsanu taqwim”. Artinya pendidikan Islam dalam dimensi seharusnya untuk tujuan menanamkan keimanan yang mantap justru mediasinya adalah pendalaman terhadap alam ciptaan Allah, dengan makna aksiologis Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains dikembangkan dalam tujuan Tauhid yakni pengesaan zat Allah SWT.
Saat ini dunia Islam sangat lemah dal;am mengembangkan sains. Kajian pendidikan Islam tidak keluar dari pendalaman al-Quran dan Hadits secara teks dan pikiran yang terikat pada konteks kebahasaan, sementara Barat, mereka sangat piawai dalam kajian sain dan teknologi, menyebabkan konsepsi ilmu menjadi terbelah dan dikotomik.
Bila dilihat dari awal munculnya, sain yang berkembang di dunia Barat mulanya mereka peroleh dari dunia Islam. Akan tetapi pada awal era modern (abad ke-17) seperti dikemukakan Hossein Nasr, filsafat mulai berubah pelan-pelan dan akhimya memisahkan diri dari agama dan mengembangkan pemikiran untuk menggantikan agama.
Dalam konteks yang sama. Nasr juga menjelaskan bahwa keterpisahan saintis dengan nilai Islam berdasarkan pada pemahaman bahwa dunia alamiah sebagai realitas dianggap terpisah dari Allah. Sedangkan Islam memahami ilmu berdasarkan pada keesaan (kesatuan) Allah. Ironis memang, apalagi pendidikan Islam berkiblat pada Paradigma Sekuler itu. Dengan demikian patutlah Islam kembali merekonstruksi pemikiran filosofisnya untuk melihat pendidikan sebagai sebuah kesatuan dengan misi kerasulan dan tak terbantahkan pula bahwa Islam itu bukan saja agama akan tetapi sekaligus ilmu dalam pengertian sebagai alat untuk bertuhan dan taat beragama.

TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB
Ta’lim, secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal , ta’lim merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju ; dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang digambarkan dalam surat (an-Nahl ayat 78), “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Ta’dib, merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban,yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas , kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam.
Tarbiyah, merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan mangasuh, mendididk dan memelihara.
Al-Raghib al-Asfahani memberikan pengertian bahwa tarbiyah merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara setahap demi setahap. Juga sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap demi setahap dan dilakukan sesuai pada batas kemampuan.
Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
Istilah ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah dapatlah diambil suatu pemahaman. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak.
Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Sehingga dengan pemaparan ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiganya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, perfect man, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini dengan baik. Artinya dalam implementasi esensinya ketiga kata ini tidaklah dapat terpisahkan dan harus sinergis untuk mewujudkan manusia paham dan beraktivitas sesuai tujuan penciptaannya yakni Syahadah Kepada Allah (al-A’raf ayat 72), fungsi penciptaannya yakni sebagai Pengabdi pada-Nya (al-Zhariaat ayat 56) dan tugas penciptaannya sebagai Khalifatullah fil ardhi (al-Baqarah ayat 30).
Sebagai tujuan penciptaan, bahwa manusia muncul di bumi Allah ini adalah untuk mengaktualisasi syahadahnya yang diikrarkan pada masa azali , ketika itu semua manusia berikrar bahwa Allah sebagai Tuhan pencipta, pendidik dan pemelihara. Dengan demikian hidup duniawi ini adalah sebagai media untuk memperkokoh ikrar itu sehingga tidak dalam ucapan belaka, akan tetapi teryakini dengan baik melalui pembuktian yang emperik dan objektip bahwa Allah itu sangat agung dan perkasa.
Maka dalam konteks pendidikan secara epistemologis dan metodologis pemahaman bahwa pendidikan diselenggarakan adalah dalam tujuan mengawal terwujudnya syahadat Tauhid yang berkualitas dan bersarang pada keyakinan qolbiah dengan dukungan ilmu. Sehingga alam sebagai sebuah keharusan yang dikaji dalam pendidikan Islam menjadi sebuh instrumen pemantapan Tauhid. Dari sisi inilah pendidikan itu berfungsi sebagai jembatan tauhid. Baru kemudian diwujudkan pula tujuan praktisnya yakni alam sebagai mitra hidup manusia menuju tatanan peradaban yang anggun dan harmonis.

BELENGGU PADA PENDIDIKAN ISLAM
Ada beberapa terali besi yang membelenggu umat Islam dalam konteks kehidupan bidang pendidikan, diantaranya adalah; pertama, tidak menjadikan Ilmu Alam sebagai intrumen bertauhid, artinya pendidikan Islam tidak mengkaji alam dalam kepentingan penanaman dan penghayatan serta kesadaran bertauhid. Bukankah hal itu mengabaikan anjuran Allah SWT. Padahal selama masa di Mekkah, Rasulullah saw menerima wahyu secara umum merupakan ayat-ayat yang berkenaan dengan ajakan untuk mengkaji alam ciptaan Allah SWT, karena ketika itu program kerasulan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mengentaskan ketauhidan.
Dalam sebuah komentarnya, Imam Suprayogo menuturkan; “Terkait dengan bangunan keilmuan, sudah lama saya merenung. Pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya, adalah mengapa telah muncul sebutan ilmu ke-Islaman hanya sebatas meliputi Ilmu syariat, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tarbiyah, Ilmu Dakwah, dan Ilmu Adab. Sedangkan selain itu dianggap bukan sebagai bagian ilmu ke-Islaman, melainkan ilmu umum. Dengan pembagian itu, pikiran saya merasa terganggu, apalagi jika saya bandingkan dengan isi al Quran yang selama ini saya pahami. Al Quran dan juga hadits Nabi, sepengetahuan saya adalah kitab berisi petunjuk dan penjelasan yang menyeluruh, terkait dengan kehidupan ini. Al Quran berbicara tentang Tuhan, penciptaan, manusia, alam semesta, dan juga keselamatan. Tatkala berbicara tentang Tuhan, al Quran memberikan penjelasan tentang siapa Tuhan itu sebenarnya, dan dengan berbagai sifat-sifat-Nya yang mulia. Demikian pula al-Quran berbicara tentang penciptaan, baik penciptaan manusia maupun jagat raya ini. Al Quran begitu komprehensif tatkala berbicara tentang manusia, melampaui apa yang diperbincangkan oleh ilmu-ilmu sosial, yang meliputi sosiologi, psikologi, sejarah, dan antropologi. Al Quran juga berbicara tentang perilaku manusia secara menyeluruh, yang menyangkut qalb, nafs, aql dan jasad. Al Quran berbicara pula tentang alam. Tatkala memperkenalkan alam, al Quran berbicara tentang tanah, api, gunung, laut, udara, hujan, air, bulan, matahari, langit, binatang, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya. Al Quran memberikan penjelasan tentang alam, ----dalam hal-hal tertentu---- melampaui temuan-temuan manusia melalui observasi, eksperimen, dan penalaran logisnya”.
Kedua, tidak dapat kita pungkiri, saat ini banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmurkan diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. ‘Gelar’ dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya biaya pendidikan yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan.
Keterjebakan ini sangat merusak kemuliaan missi pendidikan Islam itu, sehingga sedemikian pragmatis diperlakukan segala yang terkait dengan penidikan. Sangat tepat komentar Admin : “Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk, yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang berakhlak. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, diniyah dan akhlak seperti terabaikan, bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi”.
Dalam pendidikan Islam yang sebenarnya, anak didik disamping mendapat ilmu mereka juga akan mendapat keyakinan yang tertanam dalam hati mereka tentang kehebatan Allah, Maha Berkuasanya Allah, Maha Kaya Allah, dsb. Ironisnya hal tentang keilahian seperti ini sudah dipisahkan dari pendidikan yang ada dan tidak terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan kita, artinya sebetulnya pendidikan kita sudah sekuler walaupun berlabel Islam. Bahkan buka cuman sebatas itu, pendidikan Islam secara tidak langsung telah terjebak dalam lingkaran mental kapitalisme. Padahal bahaya kapitalisme inilah yang telah menjerat kehidupan global dengan dampak emisi di bumi . Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan seyogianya dibangun di atas wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu mencerminkan dan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan. Sehingga dunia dikelola bukan untuk pemuas keinginan dan hawa nafsu akan tetapi sekedar mengambil hal-hal yang menjadi kebutuhan mengabdi pada-Nya.
Memang, sudah lama dirasakan, salah satu persoalan besar dalam pendidikan menyangkut konsepsi ilmu yaitu terpilahnya atau dikotomi bangunan keilmuwan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Konsekuensi dari pemisahan ilmu ini adalah produk pendidikan membentuk dua kelompok ilmuwan, kelompok ilmuwan agamawan dan kelompok ilmuwan umum. Kelompok ilmuwan umum menjadikan alam sebagai objek yang dipahami bahkan dikembangkan apa adanya sesuai dengan tingkat penguasaan terhadap gejala alam tersebut, sedangkan kelompok ilmuwan keagamaan melakukan penelitian terhadap wahyu dengan berbagai ragam metodologi dan penafsiran.
Munculnya istilah dikotomi ilmu mulai terjadi pada abad pertengahan. Setelah ditempuh pertarungan kurang lebih 250 tahun, atau dikenal dengan gerakan Renaissance (abad 15) dan Aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai. Di saat itulah terjadinya benih “sekulerisme” di dunia Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan terhadap agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir ilmiah.
Pada saat yang bersamaan kondisi umat Islam telah mengalami kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan. Kemunduran umat Islam sesungguhnya telah dimulai sejak runtuhnya aliran mu’tazilah yang kemudian berakibat pada cara berpikir umat Islam yang tidak lagi mau menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang mempunyai nilai agama. Hal ini terus terpuruk oleh situasi politik negeri Islam yang tidak menentu, yang berakibat pula pada rapuhnya sistem pendidikan Islam. Faktor di atas merupakan salah satu sebab ketidak harmonisan atau dikotomis.
Usaha untuk keluar dari kemelut tersebut, saat ini studi agama dikembangkan dan telah menjadi trend serta cukup pesat perkembangannya baik di belahan dunia Timur maupun di belahan dunia Barat. Persoalannya kemudian adalah tentang fungsi wahyu sendiri; sudahkah ia teraktualisasi sehingga menjadi proporsional sebagai hudan dalam dinamika hidup.
Begitu juga dengan kelompok ilmuwan sekuler, mereka memang pesat mengembangkan sains sehingga menghantarkan manusia dari pola hidup tradisional kepada modern dengan dukungan teknologi. Namun sudah proporsionalkah peranan sains dan teknologi mengangkat citra kemanusiaan dilihat dari aspek aksiologinya?
Jika kita melihat kondisi ilmuwan, sangat memprihatinkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini ditunjukkan dengan negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim hanya memiliki pakar iptek kurang dari 100 orang/ sejuta penduduk (Indonesia 64 orang/ sejuta), sementara di kalangan non Muslim memiliki rata-rata lebih dari 2000 pakar/ sejuta penduduk( Israel 800 pakar/ sejuta ).
Memperhatikan kondisi dan komposisi pakar iptek seperti itu, mudah dipahami kalau arah perkembangan iptek tidak bernuansa agama (Islam). Apalagi sejak awal masa Renaisans, dengan sengaja dikembangankan secara sekuler, sebagai akibat adanya benturan antara gereja dengan para pakar iptek.
Dalam konteks pendidikan, ini artinya proses pengembangan ilmu dan penerapannya dalam bentuk teknologi telah didominasi oleh dorongan hedonistik yang sama sekali kurang memperhatikan makna atau penghayatan terhadap esensi hidup. Sebagai konsekuensi kenyataan itu, tidak jarang kemudian kemajuan iptek di samping mendatangkan dan meningkatkan kesejahteraan materi, menimbulkan dampak negatif yang sangat meresahkan. Dampak negatif itu bukan hanya bersifat fisik (polusi, kerusakan lingkungan, dan lain-lain), tetapi juga bersifat sosial (budaya dan moral atau akhlak). Apalagi dengan berkembangnya ilmu yang merekayasa genetika yang memungkinkan manusia melakukan kloning dan pembuatan “makhluk transgenik”.
Berkaitan dengan hal di atas, Prof. Muliyadi Kertanegara menawarkan upaya integrasi ilmu yaitu memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum. Kata lain yang sering digunakan dalam konteks integrasi ilmu adalah “Islamisasi ilmu”. Konsep integrasi ilmu dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid, kesadaran keimanan dan kesadaran untuk mengagungkan-Nya. Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai “tiada Tuhan selain Allah”, yang merupakan tujuan dari pendidikan Islam. Dalam usaha pengislamisasian ilmu pengetahuan kita harus meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip-prinsip Tauhid dalam arti epistemologi seluruh ilmu pengetahuan harus dilandaskan pada nilai-nilai yang bersumber pada ke-Esaan Tuhan.
Wawasan dari konsep ini tidak sebatas hanya mengimani terhadap enam rukun iman yang telah baku itu secara substantif. Implikasi pemahamannya akan menghasilkan munculnya telaah ke-Esaan Allah SWT sebagai suatu prinsip yang mengarah pada semua segi kehidupan manusia dan alam semesta sekaligus sebagai pengikat dan pengatur semua realitas.
Upaya integrasi ilmu ini diharapkan dapat menciptakan suatu produk yang dapat memberikan kesejahteraaan bagi hidup manusia, mewujudkan manusia ideal (ulul albab) yang selalu berpikir dan berzikir yang digambarkan sebagai insan-insan yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam dirinya. Ia mencintai Allah dan Rasul di atas segala-galanya, dan basah lidahnya dengan Dzikrullah, serta mendapatkan pencerahan atas kekaguman dan perenungannya mengenai alam semesta ciptaan-Nya. Ia secara sadar mengaktualisasikan potensi- potensi dirinya (akal budi, perasaan, nurani, imajinasi, rohani) serta berusaha untuk meningkatkan kualitas diri, mengakrabkan hubungan antara pribadi, melestarikan lingkungan, mencapai kedalaman rasa keberagamaan, dan menyebarkan kebajikan ke sekitarnya.

TAUHID PENDIDIKAN SEBAGAI KEMESTIAN
Dalam sejarahnya di awal dunia Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu umum dan agama, bahkan seperti yang disampaikan di atas, bahwa mempelajari alam merupakan wadah dalam penyempornaan iman. Maka dunia pendidikan benar-benar berdasarkan pada konsep tauhid yakni keutuhan pendidikan dalam artian tidak berpisahnya antara kajian wahyu dengan alam. Sebab keduanya mustahil dapat dipisahakan, sebab yang satu adalah kalam Ilahi sedang yang lainnya perbuatan-Nya.
Akan tetapi sangat disayangkan setelah terjadi perseteruan kalangan filosof muslim, khususnya antara al-Gazali dengan Ibn Rusyd, justru pada dekade berikutnya muncullah dikhotomi ilmu, dan pendidikanpun menjadi terpecah orientasinya sehingga pada gilirannya dunia Islam menjadi sangat melenceng dari tuntunan al-Quran dan Hadits Rasul dan dikenallah istilah Sekolah Agama dengan Sekolah Umum dengan masing-masing kurikulumnya. Uraian di bawah ini menggambarkan ketika umat Islam merespon pikiran yang muncul pada awal kemunduran Islam begitu saja tanpa ada usaha kritisasi dan antitesa terhadap tesis-tesis yang belum tentu baik kedepannya. Akibatnya adalah terpolarisasinya Ilmu kedalam dua bidang yang satu sama lain pada akhirnya tidak saling berhubungan, pembidangan itu adalah : Ilmu Agama dan Ilmu Umum.
1. Macam-macam Ilmu Agama
Menurut Al-Ghazali, ilmu agama terdiri dari:
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar meliputi:
1). Ilmu tentang keesaan Ilahi (ilmu tauhid).
2). Ilmu tentang kenabian. Ilmu ini juga berkaitan dengan ihwal para sahabat serta penerus religius dan spiritualnya.
3). Ilmu tentang akhirat dan eksatologis.
4). Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Sumber pengetahuan ini ada dua, yakni sumber primer: Al-Qur’an dan As-Sunnah; dan sumber skunder, yakni ijma’ dan tradisi para sahabat.
Ilmu tentang sumber pengetahuan religius terbagi menjadi dua kategori:
a). Ilmu-ilmu pengantar alat, atau ilmu kebahasaan.
b). Ilmu-ilmu penyempurna, yang terdiri dari:
(1). Ilmu-ilmu qur’an.
(2). Ilmu tentang hadis nabi, seperti ilmu dirayat dan riwayat hadis
(3). Ilmu-ilmu tentang poko-pokok hukum Islam.
(4). Biografi yang berhubungan dengan kehidupan para nabi, sahabat dan orang-orang terkenal.

b. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu:
1). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
2). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, ilmu-ilmu ini terdiri dari:
a). Ilmu tentang transaksi
b). Ilmu tentang kontraktual. Ilmu ini berhubungan terutama dengan hukum keluarga.
3). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri. Ilmu ini membahas kualitas-kualitas moral ilmu.
Menurut Ibn Khaldun. Ilmu naqli (agama) terdiri dari:
a. Tafsir dan Hadis
b. Fiqih
c. Tafsir ayat mutasyabihat
d. Kalam
e. Tasawuf
f. Tabir mimpi
2. Macam-macam Ilmu Umum
Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, yaitu:
a. Matematika, yang terdiri dari aritmetika, geometri, astronomi, dan aksiologi
b. Logika
c. Fisika, atau ilmu alam, yang terdiri kedokteran, metereologi, neurologi, kimia.
d. Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika meliputi: pengetahuan tentang esensi, sifat, pengetahuan tentang substansi sederhana, yaitu intelegensi.
Secara global ilmu umum dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Jika objek kajiannya adalah alam jagat raya, seperti langit, bumi serta segala isi yang ada diantara keduanya, yakni matahari, bulan-bintang, tumbuh-tumbuhan, binatang, air, api, udara, batu-batuan dan sebagainya dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium, pengukuran, penimbangan dan sebagainya maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam (natural sciences), seperti ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi dan lain sebagainya.
b. Jika objek kajiannya perilaku sosial dalam segala aspeknya, baik perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku agama, dan lain sebagainya yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sosial, seperti wawancara, observasi, maka yang dihasilkannya adalah ilmu-ilmu sosial seperti ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu budaya, sosiologi, antropologi dan sebagainya.
c. Jika objek kajiannya adalah akal pikiran atau pemikiran yang mendalam dengan menggunakan logika terbimbing yang dihasilkan adalah filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.
Dalam telaah Abuddin Nata al-Gazali membagi Ilmu terhadap dua kategori yakni Ilmu tercela dan Ilmu terpuji, sementara jenis yang kedua dibagi pula kedalam dua tingkatan dalam konteks mempelajarinya, yakni Ilmu Fardhu ‘Ain dan Ilmu Fardhu Kifayah.
Dari pikiran al-Gazali ini, sangat cocok pada zamannya, sebab pikiran beliau itu muncul pasti bertujuan untuk merespon kecendrungan pemikiran intelektual ketika itu yang cukup dominan dalam meminati hal-hal yang bersifat rasional, sehingga perdebatan dan polemik filosof, khususnya koreksi beliau terhadap Ibn Rusyd lewat Tahafut al-falasifah adalah sesuatu yang sangat normal dan kemestian. Hanya letak persoalannya adalah kelemahan dunia Islam meresponnya secara proporsional yang sampai saat ini nyaris belum muncul sintesis dari dua pola pemikiran yang satu sama lain punya jarak yang sangat jauh. Sehingga pengikut rasionalis mengejewantah dalam alam rasionalisme dengan mendewakan akal, dan yang mengutamakan dominasi agama (spritual) mengeristal menjadi tasauf (mistisisme). Padahal kedua pola ini adalah dua sejoli atau sepasang bentuk berpikir yang harus tetap bersinerjis.
Oleh karena itu epistemologi integralistik sangat dibutuhkan dan harus dikembalikan pada habitat yang sebenarnya. Peraktisnya adalah secara aksiologis pengetahuan alam bukan sekedar pelajaran untuk mengenal alam sehingga dapat dikelola dan diambil manfaatnya, akan tetapi lebih pokok lagi pengetahuan alam adalah menjadi dalil aqli dalam mengenal Allah untuk mewujudkan tauhid yang benar. Maka dalam konteks ini kajian agama dan alam dalam kurikulum pendidikan Islam saat ini tidaklah tepat bila ada kategori fardhu ‘ain dan kifayah yang satu sama lain berjauhan, sebab bila ia dikategorikan seperti dengan jarak yang saling membelakangi, itu akan dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip tauhid. Kebutuhan dalam konteks ini adalah pemahaman yang terbangun untuk melihat kajian agama dan alam adalah dua sisi mata uang yang sudah menjadi pasangan yang satu dengan lainnya tidak mungkin terpisahkan. Teks ajaran butuh pembuktian di alam, dan kajian akliah tentang alam butuh petunjuk syari’ah. Inilah yang harus dibangun dalam pendidikan Islam dengan prinsip Tauhid Pendidikan. Bahkan konsep ilmu dalam pendidikan Islam adalah sesuatu yang paling prinsipil untuk ditangani. Karena pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spritual. Konsekwensinya kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spritual manusia. Artinya ilmu bukan bebas nilai, akan tetapi ilmu sarat dengan kesadaran nilai. Dan Al-Attas melihat saluran atau jendela pengetahiuan manusia termasuk intuisi (ilham) dan berita yang benar (al-khabar al-shadiq) disamping temuan panca indra dan akal sehat.
Bila lebih jauh ditelusuri tentang manusia dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan, kenyataannya setiap manusia punya bekal yang amat lengkap diciptakan yang maha agung itu, hanya kadang manusia sering terpeleset pada suatu cara pandang dalam hidup sehingga adanya perbedaan jenis cendrung menjadi sumber pertentangan, padahal sikap seperti itu sangat tidak sejalan dengan watak dasar ajaran Islam. Uraian pikiran dari Erbe Sentanu patut menjadi masukan penting, bahwa : Tuntunan bijak dan falsafah hidup yang diturunkan sejak dahulu selalu mengatakan bahwa alam semesta beserta isinya berasal dari satu sumber energi abadi yang kekal dan menyeluruh. Sumber ini memiliki kekuatan, kecerdasan dan kesadaran yang tak terbatas dengan sifat alamiahnya yang bijak, penuh kedamaian, kasih sayang, kebahagiaan, dan maha lengkap-semporna. Manusia diciptakan oleh Sumber yang SATU ini pula, untuk memahami serta mengalami kembali hakekat per-SATU-an maupun ke-SATU-an sambil menikmati keanekaragaman sebagai tujuan hakiki hidupnya.
Selanjutnya Sentanu memberi gambaran tentang manusia bahwa Tuhan menganugerahi dua otak, yakni kiri dan kanan. Satu dan lainnya punya kemampuan dan fungsi tersendiri. Manakala potensi itu digunakan tidak sinerjis, yang kiri jalan sendiri dan lainnya juga demikian, maka muncullah kekacauan dalam diri orang dimaksud. Oleh karena itu perbedaan kemampuan otak kiri dan kanan bukan untuk dipisahkan, akan tetapi kenyataannya kiri dan kanan harus disinergiskan untuk sebuah prestasi gemilang manusia. Prof. Dr. HM. Nurhalim Shahih seorang ahli Biokimia, sebagaimana dikutip Sentanu bahwa menurutnya: Tingkat kemampuan berpikir logis dan tingkat kemampuan berperasaan bervariasi antar individu (dan) manusia yang dapat mencapai keseimbangan antara keduanya akan berhasil hidup dunia dan kahirat.
Dalam perspektif ini, aktualisasi diri menjadi sesuatu yang sangat penting dalam tujuan pendidikan Islam, hanya saja perlu dibedakan bahwa aktualisasi diri disini tidak sama dengan pandangan barat yang hanya terpusat pada pandangan fisik belaka, akan tetapi aktualisasi diri disini seperti yang digambarkan Al-Attas bermakna penyadaran terhadap tujuan utama dari penciptaannya, fitrahnya, yang pada akhirnya, mengetahui dan mengaku Tuhan sebagai pencipta, dan mengatur kehidupannya sebagai khalifatullah, dengan penuh hikmah keberanian, kesabaran dan keadilan.
Dengan pandangan ini, semakin nyata bahwa manusia dengan dasar fitrahnya, bukan saja akal dan pisik yang dikembangkan dalam alam pendidikan akan tetapi berdasarkan pendekatan Tauhid atau prinsip ke-SATU-an itu, juga harus sekaligus unsur ruhaniah-spritual yang memiliki kemampuan menyadari itu harus mengikat pertumbuhan akal dan pisik. Sebab esensi fitrah manusia adalah ia lahir kebumi merupakan makhluk yang membawa potensi ke-Islam-an kian, yakni kesadaran dan ketundukan pada Allah, dengan sebuah ungkapan komitmen (syahadah) yang bersifat laten seperti disinggung di atas (al-a’raf:72).
Pikiran inilah yang mesti dituangkan dalam kurikulum pendidikan, dan untuk kasus Indonesia bahwa kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan pengewajantahan dari paradigma di atas. Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara guru besar UIN Jakarta ini, menjelaskan bahwa : Perubahan dari IAIN ke UIN telah menimbulkan banyak problem epistemologis, yang harus segera dicarikan jalan keluamya. Problem tersebut pada dasarnya bermuara pada adanya dikotomi ilmu antara ilmu agama di satu pihak, dengan ilmu umum. Walaupun dikotomi tersebut telah lama dikenal dalam dunia Islam, tetapi itu tidak sampai kepada penolakan status ilmiah masing-masing. Tapi dalam sistem keilmuan modern, dikotomi ilmu agama dan ilmu umum telah sampai pada taraf penolakan validitas keilmuan masing-masing kelompok ilmu tsb. Dikotomi di atas di masyarakat Indonesia telah menimbulkan kesan yang keliru bahwa hanya ilmu agama yang memiliki nilai religius, sedangkan ilmu umum sepenuhnya profan. Problem lain dari dikotomi seperti itu adalah timbulnya kesenjangan tentang sumberi lmu. Para pendukung ilmu agama hanya menganggap sah dengan sumber-sumber ilahi, sedangkan ilmuwan sekuler menganggap sah hanya infromasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi. Dikotomi yang ketat di antara dua kelompok ilmu itu juga telah menimbulkan perbedaan pendapat tentang entitas apa saja yang bisa dipandang sebagai objek yang sah dari ilmu. Demikian juga dikotomi tersebut telah menimbulkan disintegrasi klasifikasi ilmu. Sains modern cenderung hanya memfokuskan diri hanya pada cabang ilmu fisika, sementara banyak sarjana Muslim seperti al-Ghazali cenderung memberi penekanan yang lebih kuat pada lmu-ilmu agama. Dikotomi ini juga telah menimbulkan problem dalam bidang metode ilmiah. Sains modern menggunakan hanya metode observasi, sedangkan sistem keilmuan Islam, dengan keyakinannya pada entitas-entitas ghaib, mau tak mau harus menggunakan metode i lmiah yang lain, seperti metode burhani, irfani dan bayani.
Selanjutnya beliau (Mulyadhi) ungkapkan bahwa untuk menuju Epistemologi Islami maka; Sebagai lembaga pendidikan Islam, UIN seyogyanya mengembangkan sebuah epistemologi yang Islami, karena kalau tidak maka pertanyaan apa perbedaan belajar ilmu-ilmu umum di UIN dan universitas umum, akan tetap menggantung dan menjadi duri dalam daging. Bukan itu saja, UIN juga perlu mengembangkan sebuah epistemologi yang bersifat terpadu, dalam rangka mengatasi semua problem yang timbul akibat sistem keilmuan yang dikotomis. Maka tandas beliau; basis utamanya adalah tauhid; Ajaran utanma Islam adalah tauhid. Tauhid juga telah dijadikan sebagai basis utama epistemology Islam. Bahwa ilmu adalah upaya untuk mengenal realitas sesuatu, maka semua realitas apa pun haruslah bersandar pada Realitas Ultimate, yang tidak lain daripada Tuhan sendiri. Dengan bersandar pada realitas Mutlak, maka status ontologis entitas-entitas yang lain juga kemudian dikuatkan. Oleh karena itu basisnya ; Demikian tegas pemisahan dari kedua kelompok ilmu tersebut, sehingga banyak di antara yang kehilangan akal bagaimana mengintegrasikannya. Padahal menurut saya, hal tersebut bisa di atasi dengan menemukan basis integrasi yang sama antara ilmu-ilmu umum dan agama. Dan basis integrasi itu bisa ditemukan dalam kenyataan bahwa baik ilmu agama maupun ilmu umum sama-sama mengkaji ayat-ayat Allah. Ilmu agama ayat-ayat Allah tadwini, ilmu umum ayat-ayat kauni.
Maka haruslah disatukan semua objek. Dengan kecenderungannya yang kuat pada positivisme, sains modern hanya mengakui objek-objek empiris, dan menolak semua semua entitas non-fisik sebagai objek sah ilmu pengetahuan. Dalam tradisi ilmiah Islam, bukan hanya objek-objek empiris (mahsusat) yang diakui status ontologisnya, tetapi juga objek-objek non-empiris( ma'qulat), sehingga sebuah sistem epistemologi yang integral sangat mungkin dibangun. Model integrasinya adalah : Dengan fokusnya hanya pada objek-objek empiris, sains modern menolak bidang bidang keilmuan non-fisik baik matematik maupun metafisik. Integrasi ketiga bidang tersebut hanya mungkin tercipta dalam sistem epistemologi yang mengakui status ontologis objek-objek fisik dan non-fisik. Padahal dalam tradisi ilmiah Islam, ketiga macam objek tersebut telah menghasilkan berbagai bidang ilmiah yang integral: fisik, matematik clan metafisik.
Sementara untuk wilayah sumber Ilmu perlu mempertimbangkan :
• Ketika sains modern membatasi objek-objeknya hanya pada entitas-entitas fisik, maka sumber atau alat utama yang mereka pakai untuk memperolehi lmu adalah indera (sense perception).
• Tetapi karena sarjana-sarjana Muslim percaya bukan hanya pada objek-objek fisik, tapi juga objek non-fisik, maka mereka telah mengafirmasi sumber lain dari ilmu yaitu akal, intuisi dan wahyu .
Dari pemikiran yang dikemukakan Mulyadhi di atas, maka UIN adalah sebuah jawaban bagi krisis kehidupan yang makin kompleks, sebab sangat dirasakan bahwa berbagai persoalan yang muncul akhir-akhir ini tidak lain dikarenakan manusia melupakan Tuhan dalam mendekati dan memanfaatkan alam dengan melalui pengembangan sain dan teknologi, maka tidak ada jalan lain keculai menuju upaya mengintegrasikan ilmu dengan wahyu dalam sebuah bangunan keilmuan sebagaimana yang dilakukan UIN.
Maka pantas jika Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam sebuah perbincangan mengatakan bahwa : ''Pemeintah nampaknya masih melihat Islam dari sisi agama saja. Padahal di Al-Quran jelas ditegaskan bahwa kita sebagai manusia wajib mengembangkan ilmu pengetahuan,'' tegas Imam. ''Kami harap dengan menteri agama yang baru ini, mampu mengembangkan UIN baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tentunya juga diikuti oleh kebijakan-kebijakan dari pejabat-pejabat Depag di bawah Menteri agama,'' tegas Imam.
Imam mengakui bahwa dirinya sempat berbincang-bincang dengan Menag Suryadharma Ali dalam satu kesempatan. Dari perbincangan tadi intinya adaah ada keinginan dari Menag untuk terus mengembangkan pendidikan Islam di negeri ini, termasuk mengembangkan PTAIN dan UIN. Menurut Imam, walaupun nantinya mungkin kebijakannya bukan membuka UIN baru, minimal adalah STAIN-STAIN yang ada, bisa diisi dengan keilmuan-keilmuan umum seperti pertanian, kelautan dan lainnya. Dikatakannya, idealnya UIN-UIN ini nantinya tidak hanya terdapat di setiap ibukota provinsi, namun juga di tingkat kabupaten/kota. Imam yakin pemerintah daerah (pemda) juga akan menyambut baik jika pemerintah mengembangkan UIN di daerah-daerah. Ia mencontohkan Bupati Curup yang sangat antusias dengan dunia pendidikan tinggi Islam ini.
Keinginan ini tentu tidaklah didasarkan pada sebuah ambisi rendahan, akan tetapi merupakan buah pikiran yang amat logis dan bijaksana, bahwa dengan jalan membenahi pendidikan yang bernuansa dikhotomik inilah kerisis kemanusiaan dapat diselamatkan, sebab krisis multidimensional berawal dari rapuhnya dunia pendidikan, maka penyelsaiannya adalah merekonstruksi pendidikan.

KESIMPULAN
Tulisan ini berkesimpulan bahwa krisis kemanusiaan dan ekologis saat ini berpangkal dari bergesernya paradigma dan epistemologi pendidikan yang digerakkan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menghasilkan teknologi sehingga muncul rekayasa sosial dalam wujud kemodrenan. Karena dasar falsafahnya mengabaikan dimensi spritual maka pendidikan dan peradaban manusia menjadi cendung materialisme dan meniadakan kehadiran Tuhan dalam proses peradaban itu. Padahal awal Islam dengan wahyu sucinya telah menggariskan bahwa untuk mengenal Tuhan dan bisa dekat dengan-Nya haruslah dibantu alat yang disebut ilmu pengetahuan. Iqra dalam surah al-‘Alaq menjadi sebuah landasan paradigmatik dalam menumbuhkan iman yang haqiqi. Paling tidak ayat ini memberi pemahaman bahwa ilmu dipelajari adalah untuk tujuan mengenal Allah dan sekaligus dalam tujuan praktis dan pragmatis manusia untuk mengambil manfaat alam mewujudkan hidupnya yang layak
Dengan konsep tauhid pendidikan, maka landasan epistemologis dan aksiologis keilmuan dan merumuskan sistem dalam melahirkan manusia menjadi abdullah dengan tugas khalifatullah memungkinkan adanya sebab sudah diawali dengan terkondisinya kesesuaian antara lahan tempat tumbuh dengan hasil yang dicita-citakan. Dalam pengertian keluar dari sistem sekularisme menuju filsafat integralisme. Karena sistem yang sekularisme itu tetap saja akan melahirkan manusia yang split-personaliti dan hanya dengan sistem integralisme itulah memungkinkan muncul manusia seutuhnya.

Senin, 14 Desember 2009

PENGUATAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM UNTUK KELUAR DARI KEMELUT (Analisis Kritis Terhadap Permasalahan Kepemimpinan)

PENDAHULUAN

Perjalanan kehidupan manusia di planet bumi ini sudah cukup panjang, dan telah begitu banyak jenis prestasi dan dinamika yang dihasilkan serta dilalui, dan buku catatan sejarahpun sudah hampir penuh baik ia dokumentasi tentang yang gemilang menggembirakan maupun pristiwa duka yang memilukan bahkan aktivitas serta terobosan yang sangat memalukan.

Bayangkan saja dalam pandangan Alvin Tofler, rupanya manusia sudah melalui tiga gelombang kehidupan (peradaban manusia) yakni; gelombang pertama, dengan ciri ketika mana manusia masih hidup dengan sangat bersahaja, hidup dengan menggunakan energi dan tenaga yang dapat diperbaharui, seperti menggunakan tenaga manusia dan binatang dalam menyahuti keperluan hidup, dan gelombang kedua, dengan ciri kehidupan bahwa manusia menggunakan energi yang tidak dapat diperbaharui, yakni manusia sudah menggunakan energi listrik, minyak bumi, gas dan kekuatan alam lainnya dalam merespon kebutuhan manusia, serta gelombang ketiga, saat mana manusia telah menggunakan satelit dalam mengatur dan menentukan proses perjalanan kehidupan[1].

Dalam proses terjadinya pergeseran dari gelombang kehidupan pertama kepada yang kedua, sungguh banyak sekali prestasi yang dilahirkan dan sangat menakjubkan setia manusia. Dengan ditemukannya listrik dan otomotip, peradaban manusia menjadi berubah dengan sangat derastis. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjadi berkembang pesat dan menghantarkan manusia pada sebuah era baru yakni zaman modern.

Kehidupan modern adalah sebuah babakan yang membukakan mata setiap manusia untuk tampil hidup efesien dan efektif. Maka teknologipun semakin dikerahkan untuk merekayasa alam dalam mewujudkan kemudahan hidup. Rekayasa adalah salah satu bagian penting. Sejalan dengan pertumbuhan peradaban yang dilahirkan oleh modernitas itu, sekularisasipun hampir tidak dapat dibendung, mengakibatkan pengolahan masa depan manusia sudah bertumpu pada prinsip objektivitas-rasional dan mengenyampingkan unsur subjektivitas, ditopang pula dari berbagai belahan dunia muncul para ahli pikir, sehingga agama yang luhur dan bersifat subjek dan primordial-spritual mulai tersingkirkan karena ahli zikir hampir sudah punah, apalagi kelompok Ulul Albab, yakni ahli pikir sekaligus ahli zikir menjadi barang langka. Pada akhirnya modernitas menghantarkan manusia pada sebuah keadaan yakni mengangkangi nilai luhur sehingga terjebak dalam proses dehumanisasi.

Lebih tragis lagi ketika modernisasi dapat menguak misteri hidup dengan penggunaan satelit. Maka komunikasipun sudah melalui alam maya dengan sebuah titik kulminasi munculnya babakan baru yakni globalisasi. Yakni sebuah planet hunian manusia yang telah menjadi perkampungan kecil, inilah ciri manusia gelombang ketiga.

Bila dicoba bernostalgia, benar memang bahwa Pendidikan Islam pernah mengalami kejayaan pada zamannya, akan tetapi itu tidak bertahan sampai sekarang dan disekitar abad 13 dunia Islam mengalami masa kemunduran, sehingga Islam termarginalisasi dan terpecah, mengakibatkan dunia pendidikanpun ikut terpinggir, sebab bila pada awalnya pendidikan Islam itu bersifat integral dalam perspektif kurikulum, tapi sayang setelah itu kajian ilmu dalam pendidikan Islam hanya tersisa pada wilayah ilmu keislaman saja sementara sains sepi dan sesuatu yang tidak dikaji. Tragis memang, akan tetapi inilah kenyataan pahit yang diwarisi dari peristiwa terjadinya kemunduran Islam, yang sampai saat ini termasuk di Indonesia dirasakan sekali.

Khusus pendidikan di Indonesia, ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan redupnya peradaban Islam di belahan dunia Arab. Maka dekade demi dekade pendidikan menjadi terus terpuruk terlebih-lebih dalam pemerintahan kolonial, sehingga secara menejerial dan profesionalitas pengelolaan sungguh jauh dari apa yang diharapkan. Kendati dekade 2000-an pendidikan Islam Indonesia mulai menggeliat, khusussnya setelah Indonesia mengalami era reformasi, namun sederetan masalah sungguh masih berupa gunung es dan ditengarai masalah itu mengendap pada wilayah kepemimpinan.. Tulisan ini akan mencoba menguraiakan sekilas masalah menejemen dan profesionalitas pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia, sekaligus mencari solusinya, kearah reorientasi untuk keluar dari berbagai kemelut khususnya hal-hal yang muncul secara internal di lembaga-lembaga penddikan Islam itu sendiri.

KEMELUT MENEJEMEN dan PROFESIONALITAS PENDIDIKAN

Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) yang umumnya dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, keterampilan mengajar, manajemen kelas, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit pimpinan yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam.

Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan koleganya sendiri, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike[2] dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.

Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan anak bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) peserta belajar, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah Depdiknas[3] dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap produk atau lulusan pendidikan Islam. Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas.

Lebih memilukan lagi kenyataan akhir-akhir ini ketika sejarah perjalanan manusia dengan sampainya pada era globalisasi secara nyata merupakan tantangan baru dan kompleks sekali bagi ummat Islam dan pendidikan Islam sekaligus, hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal yakni :

Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja tentu hal ini terkait dengan lembaga pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia, serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).

Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.

Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing umat dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.

Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.

Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Pertanyaan selanjutnya, apakah yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam? Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam konteks ke-Indonesiaan. Sehingga kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi sebuah tantangan sekaligus peluang tersebut.

Bila secara seksama diamati kondisi pendidikan Islam khususnya di Indonesia, persoalan pengelolaa adalah salah satu masalah yang amat serius. Kenapa ? Lihat saja misalnya; Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkungkung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah dan akan mulai menunjukkan berbagai pertumbuhan dan kemajuan.[4]
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam mesupakan sub-sistem pendidikan nasional. Tetapi
predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobat” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Dalam hal ini, maka pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini memberi kesan yang tidak menggembirakan. Meskipun, tidak dapat dipandang sebagai evidensi yang kongklusif dalam penglihatannya, bahwa setiap kali ada murid-murid dari suatu lembaga pendidikan Islam yang turut serta dalam lembaga cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di TVRI, maka biasanya kelompok ini mendapatkan nilai terendah. Evidensi kedua ialah bahwa partisipasi siswa-siswi dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan nasional seperti lomba Karya Ilmiah Remaja terkesan sangat rendah, dan belum pernah ada prestasi yang menonjol dalam lomba yang berasal dari lembaga pendidikan Islam[5]. Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam yang begitu banyak menyebar di Indonesia.
Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan nasional, tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan, memang terasa janggal, bahwa dalam suatu komunitas masyarakat muslim, pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius.[6] Maka, dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan problem-problem dan berbagai kepincangan yang terjadi dan dialami sedemikian pelik.?
Akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuaannya. Ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model pendidikan yang ditawarkan. Mulai dari MIN, MTSN dan MAN Model, munculnya UIN dan berbagai bentuk Pesantren yang menjanjikan. Tetapi tantangan yang dihadapi tetap sangat kompleks, sehingga menuntut adanya jihad dan ijtihad yang inovatip dalam mendongkrak pendidikan Islam. Hal ini tentu merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip Arifin; memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam dewasa ini disebabkan oleh factor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), dan kelemahan dalam hal pengelolaan kelembagaan (organisasi), ilmu dan teknologi. Maka dari itu, pendidikan Islam didesak untuk melakukan inovasi tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti paedagogis, sosiologis dan cultural dalam menunjukkan perannya.[7]

Dalam soal menejemen, kondisi saat ini, ketika bangsa memberlakukan otonomi daerah, kepemimpinan yang dijalankan dalam lembaga pendidikan Islam, harus menggunakan pola menejemen berbasis kekuatan masyarakat. Akan tetapi keinginan itu dihadang oleh berbagai ganjalan yang tidak terduga sebelumnya, kita cermati saja misalnya pernyataan Ahmad Tafsir[8] dalam penjelasannya tentang pandangan Tilaar[9] ada tiga hal yang paling menonjol dalam pengelolaan pendidikan kita saat ini. Pertama, sistem yang kakau, yakni sistem yang masih terperangkap dalam kekuasaan otoriter, maka hasilnyapun pengelolaan pendidikan kita sangat kaku sifatnya. Diantara tandanya adalah bahwa birokrasi pendidikan dalam segala lini masih sangat ketat, kendati setelah UU No. 20 tahun 2003 berlaku, tapi karena dalam era otonomi daerah sekarang dengan otonomi pendidikan tetap saja banyak masalah, khususnya leluasanya kekuasaan daerah dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia yang sangat minim, maka pendidikanpun sering dikelola berdasarkan selera dan intres dari kekusaan itu sendiri. Termasuk pendidikan Islam, dengan praktek seperti itu, kelihatannya daerah belum begitu mengerti missi reformasi dan demokrasi pendidikan, kendati dipahami tapi aplikasinya masih sangat jauh dari aturan sehingga pendidikan Islam di daerah tetap saja menjadi anak tiri yang diterlantarkan.

Kedua, Pendidikan masih saja dikelola dengan penuh bau KKN, yakni peraktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental. Otonomi kekuasaan kelihatannya dapat mempersubur peraktek ini. Hal ini disinyalir sebagai efek dari demokrasi yang terlalu terbuka, seperti adanya pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif secara langsung dan semi distrik, mengakibatkan para kandidat secara personal harus berhadadapan langsung dengan konstuen untuk mereka ajak, bujuk dan rayu agar memilih yang bersangkutan, justru untuk masyarakat daerah dan miskin membuka peluang dagang suara, akibatnya ketika sudah terpilih sebagai pengemban amanat rakyat justru yang terjadi adalah secara terselubung berpotensi untuk pengembalian modal dari jabatan yang dipangku itu. Lihat saja berita Republika[10] berikut; Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menilai, sistem suara terbanyak dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009, turut memicu perilaku korupsi para calon legislatif. Sistem suara terbanyak memaksa para caleg untuk bersaing dengan optimal termasuk dengan caleg yang berasal dari sesama partai. "Akibatnya persaingan lebih berat, baik dari segi tenaga maupun biaya. Ini turut memicu orang melakukan korupsi untuk menutupi biaya kampanyenya," Arbi melihat ada keterkaitan antara perbuatan korupsi yang dilakukan caleg incumbent (masih menjabat sebagai anggota DPR, red) dan penerapan sistem suara terbanyak dalam pemilu 2009. Kalau dulu para caleg incumbent yang biasanya mendapat nomor urut jadi, tidak perlu terlalu bekerja keras, kata Arbi, maka lain halnya dengan pemilu sekarang. Para caleg kini dituntut untuk intensif turun ke lapangan mencari dukungan pemilih yang artinya juga harus mempunyai dana besar. Keperluan dana yang besar diperparah dengan masih adanya partai yang mempraktikkan syarat pemberian uang untuk menduduki satu kursi caleg. "Ini belum lagi gaji mereka dipotong untuk partai jika terpilih nanti. Semua itu memicu caleg atau anggota legislatif melakukan korupsi."
Ketiga, pendidikan belum berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, ini cukup jelas, karena sangat dirasakan bahwa masih banyak peraktek kebijakan yang cukup memberatkan masyarakat, baik ia dalam soal sistem dana pendidikan, sistem evaluasi pendidikan dan sebagainya mengakibatkan bahwa masyarakat merasa senantiasa dirampas atau ditodong. Apalagi situasi kehidupan ekonomi masyarakat yang senantiasa semakin berat dari akibat kepincangan dan ketidak adilan sistem perekonomian bangsa yang terus menjurus pada sistem kapitalis dan liberalis. Bukankah umpamanya dilingkungan PTAI sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali terjadi demo mahasiswa akibat adanya penambahan pembayaran SPP atau uang Praktikum ?, tentu bila dicermati mereka ini demo bukan ditompangi akan tetapi murni karena beratnya situasi ekonomi khususnya mereka berasal dari latar belakang keadaan orang tua yang pas-pasan. Atau secara umum adanya demo penolakan tentang Undang-Undang Pendidikan yang menjurus pada otonomi dengan ujungnya kemandirian akan dana masyarakat untuk memperoleh pendidikan.

Memang kemadirian masyarakat sungguh tidak perlu dipertanyakan bagi masyarakat Islam, lihat saja umpanyanya; Pertama, pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah yang bercirikan Islam, dan perguruan tinggi) lebih besar > 80 % dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih percaya dan hormat pada ulama, percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan agama, ibadah, ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt) dalam pengelolaan pendidikan Islam. Seharusnya negara dngan adil mempertimbangkan dan menagkap ini untuk dioptimalkan dan dilegalisasi menjadi milik dan ciri bangsa secara permanen. Sehingga tidak muncul keadaan yang : Kedua, bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag. Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Ketiga, bahwa kesempetan yang dibuka dalam UU No.20 Th. 2003 harus betul memberi kesempatan atau momentum pengembangan pendidikan Islam. Tercatat jelas bahwa Pendidikan Islam diakui sama dengan pendidikan yang lain, akan tetapi realisasinya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Keempat, ancaman Akibat perlakuan yang diskriminatif menyebabkan bahwa banyak lembaga pendidikan dibawah diknas yang lebih tangguh dan berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat, sehingga tidak dan berlum terkejar oleh pendidikan Islam, pendidikan Islam dihawatirkan kehilangan jati dirinya, pendidikan Islam selalu menjadi warga kelas dua.[11]

LANGKAH REORIENTASI PENDIDIKAN KE DEPAN

Sederetan masalah sudah dipaparkan di atas, maka dibutuhkan sekali langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk dapat keluar dan eksis kedepannya. Maka hal yang paling pokok dan mendasar untuk dilakukan adalah menyangkut dengan menejerial yakni pola menejemen dan gaya kepemimpinan dalam mengayuh pendidikan Islam.

Ada catatan pokok yang harus disadari sepenuhnya oleh semua pihak yang ikut punya tanggungjawab terhadap pendidikan Islam, bahwa kewajiban dasar dan sangat prinsip dari produk sebuah institusi pendidikan adalah mengembangkan kepribadian yakni keimanan, ketakwaan dan akhlak karimah (fardhu ‘ain) serta bakat/potensi anak didik untuk adaptip dan responsip pada perkembangan masyarakat (fardhu kifayah). Dalam bahasa Ahmad Tafsir[12] bahwa karakteristik lulusan yang diharapkan adalah : pertama, manusia yang berdedikasi dan berdisiplin tinggi, yakni manusia yang memiliki kesadaran tinggi dengan didasari rasa pengabdian dan tanggung jawab dalam kehidupannya, mempunyai visi jauh kedepan dan normatif idealis yang terjabarkan dalam misi strategis. Kedua, manusia yang inovatif, tidak puas dengan apa yang dihasilkannya dan tidak mau terjebak dalam sttus quo. Ketiga, manusia yang jujur baik pada orang lain terlebih-lebih pada didirinya sendiri, sebab saat ini zaman membutuhkan manusia seperti ini. Keempat, manusia yang tekun yang dapat fokus dalam tugas-tugas yang dihadapi. Kelima, manusia ulet, yakni manusia yang tidak mudah menyerah dan putus asa, tapi ia terus menggali dan menggali. Keenam, manusia yang unggul itu adalah manusia yang dapat mengendalikan diri. Saat ini situasi bangsa terjebak pada sebuah kondisi yang amat korup itu disebabkan bahwa sifat mampu mengendalikan diri, mampu menahan diri untuk tidak terjebak pada godaan hal-hal yang bersifat materialisme, hedonisme dan egoisme itu adalah sesuatu sifat yang amat sulit dilakukan oleh para pengelola pendidikan Isl;am itu, dan secara umum pengelola negara ini, sehingga mental korup itu telah merajalela dalam segala lini kehidupan.

Maka pendidikan Islam itu perlu secara tegas untuk menginternalisasi nilai-nilai yang digambarkan di atas, serta mengawal agar generasi sepereti ini muncul, tentu prinsip dasar yang harus direvitalisasi adalah jalur kurikulum yang bersifat fardhu ‘ain tadi, disamping pemantapan yang fardhu kifayah sebagai modal bagi mereka untuk lebih eksis dalam menjalankan hakekat kekhalifaan mereka.

Maka untuk menyongsong itu dibutuhkan sekali: Pertama, mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh yang berorientasi pada Ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan. Kedua, mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai hak-hak asasi manusia. Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan pragmatis, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Secara umum, konsep pendidikan Islam yang ditawarkan adalah pendidikan yang berorientasi pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge, skill, ability, social-kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara operasional antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosial-kulturalnya, dan selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan.[13]

Dalam sekala kecil, target dan tujuan di atas secara perlahan sudah dimulai khususnya dengan kemunculan Universitas Islam Negeri (UIN), karena dengan UIN lah hal-hal yang menyangkut denga epistemoligi keilmuan yang menjadi salah satu problema besar dalam pendidikan Islam bisa diselesaikan, itupun ketika UIN mampu merekonstruksi wawasan Epistemologi Pendidikannya. Maka oleh kerena itulah masyarakt menaruh harapan banyak untuk lahirnya SDM berkualitas sbb :

  1. Pemikir yang mampu berpikir konperhensif-integralistik.
  2. Menguasai keterpaduan ilmu fardhu ‘ain dengan fardhu kifayah.
  3. Menghilangkan paham dikotomik agama dan umum (dunia).
  4. Mengangkat harga diri Sarjana dan pelajar-mahasiswa muslim.
  5. Menjawab harapan dan tantangan di masyarakat.
  6. Memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Mencermati target-target mulia dan luhur seperti dikemukakan, maka pola pengelolaan pendidikan Islam secara umum perlu mengikuti pikiran yang dikemukakan Ahamad Zayadi[14] bahwa kepemimpinan itu perlu didasari pada konsep : pertama, activition, kedua, verivikation-investigation dan ketiga, sucsetion. Konsep ini dapat dimaknai secara luas bahwa seorang pemimpin yang terkait dalam pengelolaan pendidikan Islam, mulai jajaran terkait di Departemen Agama dari pusat hingga daerah, seperti Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Departemen di Kabupaten/Kota sebaga sentra administrasi dan kekuasaan sampai pada para Rektor UIN dan IAIN serta Ketua STAIN, serta Kepala-kepla Madrasah dari MI, MTs dan MA haruslah betul-betul activition yaitu; mampu mengakomodasi seluruh aspirasi dan inspirasi jajaran internal dan kolegial unit kerjanya dengan jaminan suatu kerja sama team (team working) yang tangguh serta orang yang sangat bijak bekerjasama (net working) untuk menyerap serta menafsirkan berbagai komitmen masyarakat dan stakeholders dalam melakukan identifikasi, perencanaan, dan konsep kontruksi komunikasi yang dibangun lembaga baik ia secara internal juga eksternal guna mencari pikiran dalam pengembangan pengelolaan lembaga baik menyangkut dengan kurikulum, tenaga pengajar, sarana prasarana, pendanaan dan sebagainya. Artinya disamping keharusan menyiapkan team yang solid sebagai kelompok kerja lembaga juga harus bersinerjis dengan dunia luar melalui jaringan kerja yang dibangun dalam mengingkatkan kualitas lembaga.

Seperti dikedepankan di atas, bahwa di era otonomi daerah terasa sekali bahwa pemerintah daerah dan lembaga-lembaga yang terdapat di daerah secara umum masih mengikuti pola-pola lama bahwa pendidikan Islam belum proporsional mendapat pelayanan. Oleh karena itu bagi setiap pemimpin yang terkait dengan pengelolaan pendidikan Islam seperti dikemukakan di atas, perlu membangun sebuah strategi untuk melakukan pendekatan dan proses sosialisasi pemahaman bahwa pendidikan Islam juga bertujuan untuk mengelola sumber daya bangsa, malah bukan sampai pada tingkat itu saja sesuai amanat Undang-Undang No.20 tahun 2003, bahwa yang paling dekat untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional yang begitu luhur dan mulia itu adalah lembaga pendidikan Islam, karena tujuan pendidikan nasional sungguh tidak berjarak dengan tujuan pendidikan dalam Islam. Maka para pemimpin dalam mengelola lembaga tidak hanya duduk dibelakang meja kerja dan berkutat menyelesaikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) saja secara kaku, tapi harus menghubungkan diri bermitra dengan semua sektor kemsayarakatan baik ia jalur formal maupun non-formal. Katakan saja menjalin kerjasama dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha dalam rangka ikut memperhatikan pengembangunan dan proses pemenuhan sarana, prasarana, fasilitas dan penyiapan lingkungan dari lembaga pendidikan yang sedang dipimpin.

Perlu juga ditopang oleh perencanaan yang matang, visioner, realistis dan strategis. Hal ini diserap melalui verivikasi lewat pengamatan dan penelitian serta pertimbangan setelah mengadakan investigasi yang akurat terhadap kondisi objektip dan kekuatan yang dimiliki dalam rangka pengembangan sumber daya yang ada menuju keadaan yang lebih baik. Setelah itu dilakukan tentu pemimpin akan mendapat sebuah pilihan, maka keputusan itulah yang harus dilakukan bersama dengan koleha dan jajaran yang ikut bertanggung jawab dengan proses komunikasi yang sinergis untuk kemaslahatan bersama.

Benar memang, jika ditimbang dan diperdalam, secara teoritis konsep pengelolaan lembaga untuk bisa bangkit kembali sudah sangat banyak pilihan-pilihan, mulai dari teori kepemimpinan sampai teori pengelolaan organisasi, seperti teori SWOT, menejemen konplik dan sebagainya. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan pendidikan, bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang mengelola sumber daya manusia, artinya seluruh aktifitas dan kinerja bertujuan untuk memberdayakan manusia, maka kunci sukses sangat tergantung kepada ketulusan hati sang pemimpin yakni kemampuan berkomunikasi dengan baik serta ikhlas berbuat karena Allah yakni didorong oleh keinginan agar nilai-nilai Rabbaniah berjalan dalam kehidupan. Artinya dalam mengelola pendidikan Islam nilai-nilai aksiologislah paling dikedepankan dibanding dengan nilai metodologisnya.

Patut menjadi pertimbangan upaya yang dilakukan di UIN Malang sebagai salah satu lembaga yang sangat spektakuler pertumbuhannya, yang pada awalnya adalah Fakultas Tarbiyah cabang IAIN Sunan Ampel Malang, menjadi STAIN Malang, dan melompat jadi UIIS dan terkhir menjadi UIN Malang dengan Surat Keputusan Presiden tanggal 21 Juni 2004 ditanda-tangani Surat Keputusan Presiden RI Nomor 50 tentang Perubahan Status STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang.[15] Lompatan itu berlangsung hanya berkisar enam tahun, dan kini telah berdiri megah dan mengagumkan, bukan saja dikalangan Perguruan Tinggi Agama Islam, akan tetapi termasuk Universitas Negeri dan Swasta di bawah diknas, terbukti dari banyaknya kegiatan yang diminta kepada Rektor dan para dosennya menjadi nara sumber diberbagai even kegiatan pelatihan dan pencerhan kalangan sivitas akademika.

Belajar dari UIN Malang, tentu kunci kesuksesan adalah berada pada diri seorang Prof. Dr. H. Imam Suprayogo yang tampil bagaikan Imam Khomainy dan pelanjutnya Ahmaddinejat di Iran yang berjalan dengan kesederhanaan bermodal keyakinan dan istiqomah dalam sinaran cahaya Ilahi. Seperti penjelasan beliau sendiri bahwa UIN Malang dibangun adalah diatas fondasi :

1. Adanya Semangat Berubah dan Berprestasi yang muncul secara total warga.
Beliau menuturkan[16] bahwa : Sejak berubah menjadi sekolah tinggi, kampus ini seperti memiliki semangat dan jiwa baru sebagai modal untuk tumbuh dan berkembang. Semua warga kampus memiliki kesadaran bersama, bahwa kampus ini harus berubah, berkembang untuk meraih prestasi. Rasa memiliki bersama kampus secara mendadak tumbuh di kalangan dosen, karyawan maupun mahasiswa. Jika ada pertemuan, semua yang diundang hadir, sekalipun undangan itu pada malam hari. Saya sendiri sebagai ketua STAIN Malang ketika itu heran, mengapa begitu mudahnya menggerakkan orang. Selain itu rasa cinta terhadap kampus tumbuh secara bersama-sama. Kecintaan terhadap kampus juga dibarengi dengan kerelaan untuk berkorban. Seolah-olah warga kampus sedang menemukan momentumnya untuk bangkit dan bergerak membesarkan perguruan tinggi Islam ini. Antar warga kampus bersatu, di antara mereka tidak lagi melihat seseorang dari kelompok mana, Muhammadiyah atau NU, atau tidak NU dan juga tidak Muhammadiyah. Mereka yang berlatar belakang berbeda itu saling melepaskan paham kulturalnya dan kemudian menyatukan dalam ikatan yang sama, yaitu sebagai warga Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang. Sebagai kelanjutan dari semangat tumbuh dan berkembang, muncul beberapa kegiatan, baik yang bersifat akademik maupun kultural tumbuh hingga berhasil memperkukuh dan mengobarkan semangat warga kampus….. Label-label kultural yang sebelumnya menjadikan warga kampus terpilah-pilah menjadi menyatu kembali. Sebutan kita dan mereka, jama’ah kita dan jama’ah mereka menjadi hilang. Semua warga kampus hanya menginginkan adanya perubahan dan kemajuan. Suasana saling menjaga, menghargai, menolong atau membantu dan kerjasama tumbuh dan indah.

2. Adanya jalinan kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah dijalin hubungan kerjasama baik dengan Departemen Agama, Pemerintah Daerah maupun dengan berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam negeri maupun luar negeri. Kerjasama ini sangat besar artinya untuk membangun rasa percaya diri, merasa bisa dan merasa sama dan setara dengan institusi lain yang lebih dahulu berkembang. Melalui komunikasi secara terbuka, STAIN Malang menjadi dikenal dan bahkan dihargai oleh perguruan tinggi lain. Tidak sedikit perguruan tinggi, khususnya dari kalangan Departemen Agama datang ke STAIN Malang untuk studi banding dan bahkan mengikuti program-program kegiatan pengembangan akademik, seperti pelatihan managemen pendidikan tinggi, pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab, penelitain dan pengabdian masyarakat dan lain-lain. Selain itu mulai dosen UIN Malang diundang ke beberapa perguruan tinggi Islam untuk memberikan pelatihan-pelatihan. Semua ini menjadi kekuatan sekaligus menumbuhkan semangat maju dan rasa percaya diri yang kokoh itu…. Kunci keberhasilan sebuah perjuangan, bukan sebatas modal kepintaran dan kerja keras, tetapi semua itu masih harus disempurnakan dengan dua hal lainnya, yaitu berupa semangat memberi dan berkorban.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin lembaga pendidikan Islam harus memiliki kecakapan sosial, yakni kemampuan berkomunikasi dan memotivasi setiap orang yang ikut dalam gerbong kepemimpinan serta ketulusan dan keikhlasan bahwa semua pekerjaan dilakukan bermotiv ibadah kepada Allah SWT, sehingga terlihat bahwa secara internal disenangi karena kepiawiyan dalam berkomunikasi dan mengorganisir kinerja sehingga muncul team kerja kolektip yang tangguh secara internal dan kemampuan berkomunikasi dalam mengajak stakeholder untuk berkontribusi dan ikut bertanggung jawab terhadap jalannya organisasi. Artinya seorang Pak Imam di UIN Malang menjadi pemimpin yang merekatkan seluruh potensi dan penorobos jalan dalam merajut jalinan kerjasama dengan pihak luar.

A.Malik Fajar,[17]dalam salah satu pikiran yang dikemukakannya, bahwa dalam memimpin lembaga pendidikan Islam itu, pungkas beliau : “Oleh karena itu, kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam yang mampu memainkan peran strategis dan memperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti yang berkaitan dengan hal-hal berikut ini. Pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya. Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan dalam sistem pengelolaan atau manajemen. Keempat, peningkatan SDM yang diperlukan.”

Pikiran di atas memberi petunjuk bahwa dalam mengelola lembaga pendidikan Islam harus ditempuh empat langkah seperti di atas. Dalam bahasa yang lebih sederhana, seorang pimpinan harus terlebih dahulu merumuskan dan memahami secara seksama apa cita-cita dan tujuan lembaga itu didirikan, artinya harus dengan jelas memberi jawaban terhadap pertanyaan tentang apa/semacam apa yang akan diproduk dari lembaga itu. Dengan jelasnya jawaban terhadap pertanyaan ini, maka akan dapat terpenuhi hajat sosial yang lebih fungsional, artinya lembaga dan program yang dilakukan benar-benar menjadi kebutuhan hidup manusia, baik ia secara akademis, personal maupun profesional/fungsional. Karena bukan tidak jarang banyak sekali dari lembaga pendidikan Islam mengasuh berbagai kajian dan disiplin padahal produk kajian belum memenuhi hajat kehidupan seperti diungkapkan di atas. Sebagai salah satu contoh, lembaga pendidikan Madrasah Aliyah, dengan model program dan jurusan seperti SMA yakni IPA, IPS dan Humaniora, sesungguhnya tidaklah selamanya ini tepat, padahal secara umum disadari bahwa peserta didik yang masuk kelembaga Madrasah adalah generasi yang relatip dari keluarga kurang mampu, sementara jalur yang dikembangkan dalam belajar adalah jalur akademik, padahal bagi mereka sesungguhnya perlu diberi hal-hal yang bersifat keterampilan hidup dan sosial atau profesionalitas, sehingga banyak sekali lulusan Madrasah menjadi unskilled ketika sudah lulus dan tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Maka Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) sudah selayaknya dirintis pembukaannya. Demikian juga di Perguruan Tinggi, banyak jurusan dan prodi yang terus dibuka sementara secara fungsional lulusan semacam itu sudah over produksi, seperti kajian yang bersifat sosial terkecuali dengan sangat meyakinkan bahwa lulusannya dengan nyata punya nilai plus. Oleh karena itu prodi sains dan teknologi dengan epistemologi Islami justru harus dikejar dan upaya link and meach tidak boleh ditinggalkan.

Hal lain yang harus dilakukan adalah pemberdayaan kelembagaan yakni mengorganisir lembaga dengan efektif dan efisien serta tata kelola yang kondusip dengan daya dukung kualitas sumber daya yang handal. Dalam konteks kepemimpinan, maka lembaga pendidikan bermutu itu punya karakter seperti ungkapan Arcaro S Jerome, bahwa terdapat lima karakteristik sekolah (lembaga pendidikan) yang bermutu yaitu : 1). Fokus pada pelanggan. 2). Keterlibatan total 3). Pengukuran 4). Komitmen 5). Perbaikan berkelanjutan[18]

Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu. Oleh karena itu komitmen jama’i amat dipentingkan serta evaluasi kinerja dalam perbaikan berkelanjutan sepanjang waktu sebab setiap saat perubahan terjadi dan kekuranganpun makin disadari. Seperti dijelaskan Suryadi Poerwanegara[19] menyampaikan ada enam ungsur dasar yang mempengarui suatu produk : 1) Manusia 2) Metode 3) Mesin 4) Bahan 5) Ukuran 6) Evaluasi Berkelanjutan.

Pemimpin lembaga pendidikan Islam, merupakan motivator, event Organizer, bahkan penentu arah kebijakan lembaga yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Untuk mewujutkan hal tersebut maka seorang pimpinan perlu mengunakan konsep Manajemen Mutu Terpadu (MMT).

Manajemen adalah pengaturan yang dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu, jadi manajemen itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management) dalam kontek pendidikan merupakan sebuah filosofi metodologi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan, saat ini maupun masa yang akan datang[20]. Sedangkan Pidarat, menyampaikan bahwa TQM merupakan suatu sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi[21]. Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, tenaga kerja, proses, dan lingkungan[22]

Pada hakekatnya tujuan institusi pendidikan adalah untuk menciptakan dan mempertahankan kepuasan para pelanggan dan dalam TQM kepuasan pelanggan ditentukan oleh stakeholder lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena hanya dengan memahmi proses dan kepuasan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai kualitas. Semua usaha / manajemen dalam TQM harus diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan manajemen tidak ada gunanya bila tidak melahirkan kepuasan pelanggan.

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan masih banyak kegagalan, ini disebabkan antara lain ; masalah manajemen pendidikan yang kurang tepat, penempatan tenaga tidak sesuai dengan bidang keahliaannya (termasuk didalamnya pengangkatan pimpinan tidak melalui uji kemampuan yang professional bahkan hanya mengutamakan dan ditentukan nuansa politis dari pada profesionalisme), penanganan masalah bukan pada ahlinya, pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran yang tersedia, sehingga tujuan pendidikan belum dapat diwujudkan secara signifikan. Menurut Sidi[23] telah diupayakan tidak kurang 12 strategi pembangunan pendidikan nasional, antara lain 1). Menerapkan perencanaan berbasis kompetensi lokal. 2). meningkatkan pemerataan pendidikan. 3). menetapkan sistem manajemen mutu secara menyeluruh. 4). meriview kurikulum secara pereodik serta mengembangkan implementasi kurikulum secara kontinyu. 5). merancang proses penerapan pendekatan dan metode serta isi pendidikan yang memberi kesempatan luas kepada peserta didik dan warga belajar untuk mengembangkan potensi kemampuannya secara luas. 6). meningkatkan system manajemen sumber pendidikan yang lebih adil dan memadai serta mendayagunakan dan memobilisasi sumber dana secara efisien. 7). Menyusun rambu-rambu kebijakan pengembangan program pendidikan yang luwes. 8). Membuat peraturan perundangan yang mengatur perimbangan peran pemerintah dan non pemerintah dalam pendidikan secara komprehensif. 9). Mengurangi unit birokrasi yang dipandang kurang bermanfaat. 10). Mengupayakan secara konsisten dukungan dana yang memadai terutama untuk prioritas program pendidikan sebagai public goods. 11). menjaga konsistensi dan berkelanjutan internalisasi nilai-nilai pendidikan nasional diantara tiga pusat pendidikan ; yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dan 12). Mengkaji pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada life skill. Inilah salah satu yang harus dipertimbangkan seorang pimpinan dalam mengelola lembaga pendidikan.

PENUTUP

Permasalahan pendidikan Islam dalam lingkup pengelolaan manajemen adalah mencakup wilayah internal dan eksternal. Secara internal selalu dihadapi kendala perpecahan atau sulitnya persatuan yang utuh. Ini diakibatkan telah mendarah dagingnya perselisihan ditubuh umat Islam dengan menyeruaknya aliran dan pemahaman mazhab. Maka sampai saat ini keadaan itu masih terpelihara dengan utuh dan tidak memandang tingkat pendidikan, bahkan pada lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi sekalipun fenomena itu cukup dirasakan, apalagi untuk menentukan siapa menjadi pimpinan adalah melalui proses demokrasi ala kampus, maka percikan api perseteruan otomatis tidak terelakkan. Belum lagi lemahnya sumber daya manusia para pemegang otoritas kepemimpinan itu sendiri, menyebabkan sistem administrasi dan managemen sungguh sangat lemah. Padahal kesatuan dan kerapiaan penata usahaan amatlah menentukan lancarnya proses pemungsian lembaga.

Sedangkan secara ekternal, bahwa diakui lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya adalah berada dibawah lingkungan Departemen Agama, maka otomatis tidak ikut dalam pola otonomi daerah, mengakibatkan lembaga Madrasah dan PTAI cendrung tidak menjadi bagian dari pembangunan pendidikan karena dianggap Madrasah dan PTAI adalah bagian Agama, dan tidak menjadi tanggung jawab Departemen yang membidangi Pendidikan Nasional. Oleh karena itu pemipin di lembaga pendidikan Islam sering tidak dilayani sebagai pemimpin dalam pendidikan, menyebabkan lembaga yang dipimpinpun tidak mendapat perhatian pemerintah daerah. Oleh karena itu dituntut; bagi setiap pemimpin dilembaga ini harus kerja keras untuk mensosialisasikan diri dengan membentukm jaringan kerja yang baik.

Artinya lembaga pendidikan Islam tampa didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki team work yang solid dan net work yang luas pendidikan Islam sulit menjadi baik apalagi unggulan. Maka pemimpin perlu menyadari ini, dengan secara tulus serta semangat pengorbanan agar duahal ini dapat dikondisikan, bila tidak lembaga pendidikan Islam akan tetap saja seperti apa yang ada selama ini.



[1]Alvin Tofler, The Third Wave, London, Pan Books, 1981, buku terlaris saat itu dari karya seorang Futurolog dunia terkemuka, sebagaimana dikutip oleh R.M.Roy Suryo “Indonesia Menyongsong Era Globalisasi” dalam Harian Kedaulatan Rakyat, (koran Jakarta) terbitan 7 Juli 1992

[2]Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap Madrasah, From: http://www. suaramerdeka. com/harian/0211/12/kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2009

[3]Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta, From: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm, accses, sabtu, 16 April 2009

[4]Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka, Yogyakarta. 1991, h.77

[5]Ibid

[6]Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta([Suatu Pengantar), (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), h. 11

[7]H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta, Bina Aksara,, 1991), h. 3

[8]Lihat Ahmat Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 197

[9]H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang, Tera Indonesia, 1999), h. 26-28

[10]By Republika Newsroom (Republika Online), Sistem Suara Terbanyak Picu Korupsi, Kamis, 05 Maret 2009 pukul 04:36:00

[11]Hujair A. H. Sanaky, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ilmu ilmu Sosial Unisia, Universitas Islam Indonesia, ( Yogyakaarta, No.62/XXIX/IV/2006 2006), h. 87

[12]Ahmad Tafsir, Op-Cit, 202

[13]Lihat tulisan , Hujair A. Sanaky, dalam Jurnal Al-Tarbawi, Permasalahan dan PenataanPendidikan Islam Menuju Pendidikan yang Bermutu, UII, (Yogyakarta, NO. 1. VOL. I. 2008), h. 83

[14]Ahmad Zayadi, Aspek Sosiologis dan Kepemimpinan pada PTAI , (Al-Madrasah , Tabloid Republika, volume 4, September 2008), h. 16-17.

[15]Penjelasan ini dapat dibaca pada teks Pidato Rektor, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, dalam Dies Natalis IV UIN Malang, Sabtu, 21 Juni 2008, sumber, www.imamsuprayogo.com, diakses 28 Oktober 2009.

[16]Pidato, sumber, www.imamsuprayogo.com, diakses 28 Oktober 2009.

[17]Ahmad Barizi, M.A, (editor), Holistik Pemikiran Pendidikan (A. Malik Fadjar), (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 250

[18]Lihat Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001) h.13

[19]Suryadi Poerwanegara, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta, PT.Bumi Aksara, 2002) h. 12

[20]Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (Pitman Publishing, London, United Kingdom 2006), h. 73

[21]Pidarta, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2004), h. 4

[22]Nasution.M.N. ( 2004 ) Manajemen Mutu Terpadu, ( Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004), h. 18

[23]Sidi, Strategi Pendidikan Nasional, Makalah, disampaikan pada simposium dan musyawarah Nasional 1 Alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang tanggal 13-14 oktober 2001 di Malang.