Senin, 14 Desember 2009

PENGUATAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM UNTUK KELUAR DARI KEMELUT (Analisis Kritis Terhadap Permasalahan Kepemimpinan)

PENDAHULUAN

Perjalanan kehidupan manusia di planet bumi ini sudah cukup panjang, dan telah begitu banyak jenis prestasi dan dinamika yang dihasilkan serta dilalui, dan buku catatan sejarahpun sudah hampir penuh baik ia dokumentasi tentang yang gemilang menggembirakan maupun pristiwa duka yang memilukan bahkan aktivitas serta terobosan yang sangat memalukan.

Bayangkan saja dalam pandangan Alvin Tofler, rupanya manusia sudah melalui tiga gelombang kehidupan (peradaban manusia) yakni; gelombang pertama, dengan ciri ketika mana manusia masih hidup dengan sangat bersahaja, hidup dengan menggunakan energi dan tenaga yang dapat diperbaharui, seperti menggunakan tenaga manusia dan binatang dalam menyahuti keperluan hidup, dan gelombang kedua, dengan ciri kehidupan bahwa manusia menggunakan energi yang tidak dapat diperbaharui, yakni manusia sudah menggunakan energi listrik, minyak bumi, gas dan kekuatan alam lainnya dalam merespon kebutuhan manusia, serta gelombang ketiga, saat mana manusia telah menggunakan satelit dalam mengatur dan menentukan proses perjalanan kehidupan[1].

Dalam proses terjadinya pergeseran dari gelombang kehidupan pertama kepada yang kedua, sungguh banyak sekali prestasi yang dilahirkan dan sangat menakjubkan setia manusia. Dengan ditemukannya listrik dan otomotip, peradaban manusia menjadi berubah dengan sangat derastis. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjadi berkembang pesat dan menghantarkan manusia pada sebuah era baru yakni zaman modern.

Kehidupan modern adalah sebuah babakan yang membukakan mata setiap manusia untuk tampil hidup efesien dan efektif. Maka teknologipun semakin dikerahkan untuk merekayasa alam dalam mewujudkan kemudahan hidup. Rekayasa adalah salah satu bagian penting. Sejalan dengan pertumbuhan peradaban yang dilahirkan oleh modernitas itu, sekularisasipun hampir tidak dapat dibendung, mengakibatkan pengolahan masa depan manusia sudah bertumpu pada prinsip objektivitas-rasional dan mengenyampingkan unsur subjektivitas, ditopang pula dari berbagai belahan dunia muncul para ahli pikir, sehingga agama yang luhur dan bersifat subjek dan primordial-spritual mulai tersingkirkan karena ahli zikir hampir sudah punah, apalagi kelompok Ulul Albab, yakni ahli pikir sekaligus ahli zikir menjadi barang langka. Pada akhirnya modernitas menghantarkan manusia pada sebuah keadaan yakni mengangkangi nilai luhur sehingga terjebak dalam proses dehumanisasi.

Lebih tragis lagi ketika modernisasi dapat menguak misteri hidup dengan penggunaan satelit. Maka komunikasipun sudah melalui alam maya dengan sebuah titik kulminasi munculnya babakan baru yakni globalisasi. Yakni sebuah planet hunian manusia yang telah menjadi perkampungan kecil, inilah ciri manusia gelombang ketiga.

Bila dicoba bernostalgia, benar memang bahwa Pendidikan Islam pernah mengalami kejayaan pada zamannya, akan tetapi itu tidak bertahan sampai sekarang dan disekitar abad 13 dunia Islam mengalami masa kemunduran, sehingga Islam termarginalisasi dan terpecah, mengakibatkan dunia pendidikanpun ikut terpinggir, sebab bila pada awalnya pendidikan Islam itu bersifat integral dalam perspektif kurikulum, tapi sayang setelah itu kajian ilmu dalam pendidikan Islam hanya tersisa pada wilayah ilmu keislaman saja sementara sains sepi dan sesuatu yang tidak dikaji. Tragis memang, akan tetapi inilah kenyataan pahit yang diwarisi dari peristiwa terjadinya kemunduran Islam, yang sampai saat ini termasuk di Indonesia dirasakan sekali.

Khusus pendidikan di Indonesia, ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan redupnya peradaban Islam di belahan dunia Arab. Maka dekade demi dekade pendidikan menjadi terus terpuruk terlebih-lebih dalam pemerintahan kolonial, sehingga secara menejerial dan profesionalitas pengelolaan sungguh jauh dari apa yang diharapkan. Kendati dekade 2000-an pendidikan Islam Indonesia mulai menggeliat, khusussnya setelah Indonesia mengalami era reformasi, namun sederetan masalah sungguh masih berupa gunung es dan ditengarai masalah itu mengendap pada wilayah kepemimpinan.. Tulisan ini akan mencoba menguraiakan sekilas masalah menejemen dan profesionalitas pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia, sekaligus mencari solusinya, kearah reorientasi untuk keluar dari berbagai kemelut khususnya hal-hal yang muncul secara internal di lembaga-lembaga penddikan Islam itu sendiri.

KEMELUT MENEJEMEN dan PROFESIONALITAS PENDIDIKAN

Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) yang umumnya dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, keterampilan mengajar, manajemen kelas, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit pimpinan yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam.

Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan koleganya sendiri, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike[2] dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.

Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan anak bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) peserta belajar, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah Depdiknas[3] dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap produk atau lulusan pendidikan Islam. Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas.

Lebih memilukan lagi kenyataan akhir-akhir ini ketika sejarah perjalanan manusia dengan sampainya pada era globalisasi secara nyata merupakan tantangan baru dan kompleks sekali bagi ummat Islam dan pendidikan Islam sekaligus, hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal yakni :

Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja tentu hal ini terkait dengan lembaga pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia, serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).

Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.

Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing umat dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.

Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.

Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Pertanyaan selanjutnya, apakah yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam? Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam konteks ke-Indonesiaan. Sehingga kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi sebuah tantangan sekaligus peluang tersebut.

Bila secara seksama diamati kondisi pendidikan Islam khususnya di Indonesia, persoalan pengelolaa adalah salah satu masalah yang amat serius. Kenapa ? Lihat saja misalnya; Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkungkung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah dan akan mulai menunjukkan berbagai pertumbuhan dan kemajuan.[4]
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam mesupakan sub-sistem pendidikan nasional. Tetapi
predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobat” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Dalam hal ini, maka pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini memberi kesan yang tidak menggembirakan. Meskipun, tidak dapat dipandang sebagai evidensi yang kongklusif dalam penglihatannya, bahwa setiap kali ada murid-murid dari suatu lembaga pendidikan Islam yang turut serta dalam lembaga cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di TVRI, maka biasanya kelompok ini mendapatkan nilai terendah. Evidensi kedua ialah bahwa partisipasi siswa-siswi dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan nasional seperti lomba Karya Ilmiah Remaja terkesan sangat rendah, dan belum pernah ada prestasi yang menonjol dalam lomba yang berasal dari lembaga pendidikan Islam[5]. Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam yang begitu banyak menyebar di Indonesia.
Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan nasional, tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan, memang terasa janggal, bahwa dalam suatu komunitas masyarakat muslim, pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius.[6] Maka, dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan problem-problem dan berbagai kepincangan yang terjadi dan dialami sedemikian pelik.?
Akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuaannya. Ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model pendidikan yang ditawarkan. Mulai dari MIN, MTSN dan MAN Model, munculnya UIN dan berbagai bentuk Pesantren yang menjanjikan. Tetapi tantangan yang dihadapi tetap sangat kompleks, sehingga menuntut adanya jihad dan ijtihad yang inovatip dalam mendongkrak pendidikan Islam. Hal ini tentu merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip Arifin; memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam dewasa ini disebabkan oleh factor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), dan kelemahan dalam hal pengelolaan kelembagaan (organisasi), ilmu dan teknologi. Maka dari itu, pendidikan Islam didesak untuk melakukan inovasi tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti paedagogis, sosiologis dan cultural dalam menunjukkan perannya.[7]

Dalam soal menejemen, kondisi saat ini, ketika bangsa memberlakukan otonomi daerah, kepemimpinan yang dijalankan dalam lembaga pendidikan Islam, harus menggunakan pola menejemen berbasis kekuatan masyarakat. Akan tetapi keinginan itu dihadang oleh berbagai ganjalan yang tidak terduga sebelumnya, kita cermati saja misalnya pernyataan Ahmad Tafsir[8] dalam penjelasannya tentang pandangan Tilaar[9] ada tiga hal yang paling menonjol dalam pengelolaan pendidikan kita saat ini. Pertama, sistem yang kakau, yakni sistem yang masih terperangkap dalam kekuasaan otoriter, maka hasilnyapun pengelolaan pendidikan kita sangat kaku sifatnya. Diantara tandanya adalah bahwa birokrasi pendidikan dalam segala lini masih sangat ketat, kendati setelah UU No. 20 tahun 2003 berlaku, tapi karena dalam era otonomi daerah sekarang dengan otonomi pendidikan tetap saja banyak masalah, khususnya leluasanya kekuasaan daerah dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia yang sangat minim, maka pendidikanpun sering dikelola berdasarkan selera dan intres dari kekusaan itu sendiri. Termasuk pendidikan Islam, dengan praktek seperti itu, kelihatannya daerah belum begitu mengerti missi reformasi dan demokrasi pendidikan, kendati dipahami tapi aplikasinya masih sangat jauh dari aturan sehingga pendidikan Islam di daerah tetap saja menjadi anak tiri yang diterlantarkan.

Kedua, Pendidikan masih saja dikelola dengan penuh bau KKN, yakni peraktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental. Otonomi kekuasaan kelihatannya dapat mempersubur peraktek ini. Hal ini disinyalir sebagai efek dari demokrasi yang terlalu terbuka, seperti adanya pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif secara langsung dan semi distrik, mengakibatkan para kandidat secara personal harus berhadadapan langsung dengan konstuen untuk mereka ajak, bujuk dan rayu agar memilih yang bersangkutan, justru untuk masyarakat daerah dan miskin membuka peluang dagang suara, akibatnya ketika sudah terpilih sebagai pengemban amanat rakyat justru yang terjadi adalah secara terselubung berpotensi untuk pengembalian modal dari jabatan yang dipangku itu. Lihat saja berita Republika[10] berikut; Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menilai, sistem suara terbanyak dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009, turut memicu perilaku korupsi para calon legislatif. Sistem suara terbanyak memaksa para caleg untuk bersaing dengan optimal termasuk dengan caleg yang berasal dari sesama partai. "Akibatnya persaingan lebih berat, baik dari segi tenaga maupun biaya. Ini turut memicu orang melakukan korupsi untuk menutupi biaya kampanyenya," Arbi melihat ada keterkaitan antara perbuatan korupsi yang dilakukan caleg incumbent (masih menjabat sebagai anggota DPR, red) dan penerapan sistem suara terbanyak dalam pemilu 2009. Kalau dulu para caleg incumbent yang biasanya mendapat nomor urut jadi, tidak perlu terlalu bekerja keras, kata Arbi, maka lain halnya dengan pemilu sekarang. Para caleg kini dituntut untuk intensif turun ke lapangan mencari dukungan pemilih yang artinya juga harus mempunyai dana besar. Keperluan dana yang besar diperparah dengan masih adanya partai yang mempraktikkan syarat pemberian uang untuk menduduki satu kursi caleg. "Ini belum lagi gaji mereka dipotong untuk partai jika terpilih nanti. Semua itu memicu caleg atau anggota legislatif melakukan korupsi."
Ketiga, pendidikan belum berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, ini cukup jelas, karena sangat dirasakan bahwa masih banyak peraktek kebijakan yang cukup memberatkan masyarakat, baik ia dalam soal sistem dana pendidikan, sistem evaluasi pendidikan dan sebagainya mengakibatkan bahwa masyarakat merasa senantiasa dirampas atau ditodong. Apalagi situasi kehidupan ekonomi masyarakat yang senantiasa semakin berat dari akibat kepincangan dan ketidak adilan sistem perekonomian bangsa yang terus menjurus pada sistem kapitalis dan liberalis. Bukankah umpamanya dilingkungan PTAI sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali terjadi demo mahasiswa akibat adanya penambahan pembayaran SPP atau uang Praktikum ?, tentu bila dicermati mereka ini demo bukan ditompangi akan tetapi murni karena beratnya situasi ekonomi khususnya mereka berasal dari latar belakang keadaan orang tua yang pas-pasan. Atau secara umum adanya demo penolakan tentang Undang-Undang Pendidikan yang menjurus pada otonomi dengan ujungnya kemandirian akan dana masyarakat untuk memperoleh pendidikan.

Memang kemadirian masyarakat sungguh tidak perlu dipertanyakan bagi masyarakat Islam, lihat saja umpanyanya; Pertama, pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah yang bercirikan Islam, dan perguruan tinggi) lebih besar > 80 % dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih percaya dan hormat pada ulama, percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan agama, ibadah, ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt) dalam pengelolaan pendidikan Islam. Seharusnya negara dngan adil mempertimbangkan dan menagkap ini untuk dioptimalkan dan dilegalisasi menjadi milik dan ciri bangsa secara permanen. Sehingga tidak muncul keadaan yang : Kedua, bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag. Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Ketiga, bahwa kesempetan yang dibuka dalam UU No.20 Th. 2003 harus betul memberi kesempatan atau momentum pengembangan pendidikan Islam. Tercatat jelas bahwa Pendidikan Islam diakui sama dengan pendidikan yang lain, akan tetapi realisasinya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Keempat, ancaman Akibat perlakuan yang diskriminatif menyebabkan bahwa banyak lembaga pendidikan dibawah diknas yang lebih tangguh dan berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat, sehingga tidak dan berlum terkejar oleh pendidikan Islam, pendidikan Islam dihawatirkan kehilangan jati dirinya, pendidikan Islam selalu menjadi warga kelas dua.[11]

LANGKAH REORIENTASI PENDIDIKAN KE DEPAN

Sederetan masalah sudah dipaparkan di atas, maka dibutuhkan sekali langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk dapat keluar dan eksis kedepannya. Maka hal yang paling pokok dan mendasar untuk dilakukan adalah menyangkut dengan menejerial yakni pola menejemen dan gaya kepemimpinan dalam mengayuh pendidikan Islam.

Ada catatan pokok yang harus disadari sepenuhnya oleh semua pihak yang ikut punya tanggungjawab terhadap pendidikan Islam, bahwa kewajiban dasar dan sangat prinsip dari produk sebuah institusi pendidikan adalah mengembangkan kepribadian yakni keimanan, ketakwaan dan akhlak karimah (fardhu ‘ain) serta bakat/potensi anak didik untuk adaptip dan responsip pada perkembangan masyarakat (fardhu kifayah). Dalam bahasa Ahmad Tafsir[12] bahwa karakteristik lulusan yang diharapkan adalah : pertama, manusia yang berdedikasi dan berdisiplin tinggi, yakni manusia yang memiliki kesadaran tinggi dengan didasari rasa pengabdian dan tanggung jawab dalam kehidupannya, mempunyai visi jauh kedepan dan normatif idealis yang terjabarkan dalam misi strategis. Kedua, manusia yang inovatif, tidak puas dengan apa yang dihasilkannya dan tidak mau terjebak dalam sttus quo. Ketiga, manusia yang jujur baik pada orang lain terlebih-lebih pada didirinya sendiri, sebab saat ini zaman membutuhkan manusia seperti ini. Keempat, manusia yang tekun yang dapat fokus dalam tugas-tugas yang dihadapi. Kelima, manusia ulet, yakni manusia yang tidak mudah menyerah dan putus asa, tapi ia terus menggali dan menggali. Keenam, manusia yang unggul itu adalah manusia yang dapat mengendalikan diri. Saat ini situasi bangsa terjebak pada sebuah kondisi yang amat korup itu disebabkan bahwa sifat mampu mengendalikan diri, mampu menahan diri untuk tidak terjebak pada godaan hal-hal yang bersifat materialisme, hedonisme dan egoisme itu adalah sesuatu sifat yang amat sulit dilakukan oleh para pengelola pendidikan Isl;am itu, dan secara umum pengelola negara ini, sehingga mental korup itu telah merajalela dalam segala lini kehidupan.

Maka pendidikan Islam itu perlu secara tegas untuk menginternalisasi nilai-nilai yang digambarkan di atas, serta mengawal agar generasi sepereti ini muncul, tentu prinsip dasar yang harus direvitalisasi adalah jalur kurikulum yang bersifat fardhu ‘ain tadi, disamping pemantapan yang fardhu kifayah sebagai modal bagi mereka untuk lebih eksis dalam menjalankan hakekat kekhalifaan mereka.

Maka untuk menyongsong itu dibutuhkan sekali: Pertama, mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh yang berorientasi pada Ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan. Kedua, mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai hak-hak asasi manusia. Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan pragmatis, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Secara umum, konsep pendidikan Islam yang ditawarkan adalah pendidikan yang berorientasi pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge, skill, ability, social-kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara operasional antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosial-kulturalnya, dan selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan.[13]

Dalam sekala kecil, target dan tujuan di atas secara perlahan sudah dimulai khususnya dengan kemunculan Universitas Islam Negeri (UIN), karena dengan UIN lah hal-hal yang menyangkut denga epistemoligi keilmuan yang menjadi salah satu problema besar dalam pendidikan Islam bisa diselesaikan, itupun ketika UIN mampu merekonstruksi wawasan Epistemologi Pendidikannya. Maka oleh kerena itulah masyarakt menaruh harapan banyak untuk lahirnya SDM berkualitas sbb :

  1. Pemikir yang mampu berpikir konperhensif-integralistik.
  2. Menguasai keterpaduan ilmu fardhu ‘ain dengan fardhu kifayah.
  3. Menghilangkan paham dikotomik agama dan umum (dunia).
  4. Mengangkat harga diri Sarjana dan pelajar-mahasiswa muslim.
  5. Menjawab harapan dan tantangan di masyarakat.
  6. Memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Mencermati target-target mulia dan luhur seperti dikemukakan, maka pola pengelolaan pendidikan Islam secara umum perlu mengikuti pikiran yang dikemukakan Ahamad Zayadi[14] bahwa kepemimpinan itu perlu didasari pada konsep : pertama, activition, kedua, verivikation-investigation dan ketiga, sucsetion. Konsep ini dapat dimaknai secara luas bahwa seorang pemimpin yang terkait dalam pengelolaan pendidikan Islam, mulai jajaran terkait di Departemen Agama dari pusat hingga daerah, seperti Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Departemen di Kabupaten/Kota sebaga sentra administrasi dan kekuasaan sampai pada para Rektor UIN dan IAIN serta Ketua STAIN, serta Kepala-kepla Madrasah dari MI, MTs dan MA haruslah betul-betul activition yaitu; mampu mengakomodasi seluruh aspirasi dan inspirasi jajaran internal dan kolegial unit kerjanya dengan jaminan suatu kerja sama team (team working) yang tangguh serta orang yang sangat bijak bekerjasama (net working) untuk menyerap serta menafsirkan berbagai komitmen masyarakat dan stakeholders dalam melakukan identifikasi, perencanaan, dan konsep kontruksi komunikasi yang dibangun lembaga baik ia secara internal juga eksternal guna mencari pikiran dalam pengembangan pengelolaan lembaga baik menyangkut dengan kurikulum, tenaga pengajar, sarana prasarana, pendanaan dan sebagainya. Artinya disamping keharusan menyiapkan team yang solid sebagai kelompok kerja lembaga juga harus bersinerjis dengan dunia luar melalui jaringan kerja yang dibangun dalam mengingkatkan kualitas lembaga.

Seperti dikedepankan di atas, bahwa di era otonomi daerah terasa sekali bahwa pemerintah daerah dan lembaga-lembaga yang terdapat di daerah secara umum masih mengikuti pola-pola lama bahwa pendidikan Islam belum proporsional mendapat pelayanan. Oleh karena itu bagi setiap pemimpin yang terkait dengan pengelolaan pendidikan Islam seperti dikemukakan di atas, perlu membangun sebuah strategi untuk melakukan pendekatan dan proses sosialisasi pemahaman bahwa pendidikan Islam juga bertujuan untuk mengelola sumber daya bangsa, malah bukan sampai pada tingkat itu saja sesuai amanat Undang-Undang No.20 tahun 2003, bahwa yang paling dekat untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional yang begitu luhur dan mulia itu adalah lembaga pendidikan Islam, karena tujuan pendidikan nasional sungguh tidak berjarak dengan tujuan pendidikan dalam Islam. Maka para pemimpin dalam mengelola lembaga tidak hanya duduk dibelakang meja kerja dan berkutat menyelesaikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) saja secara kaku, tapi harus menghubungkan diri bermitra dengan semua sektor kemsayarakatan baik ia jalur formal maupun non-formal. Katakan saja menjalin kerjasama dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha dalam rangka ikut memperhatikan pengembangunan dan proses pemenuhan sarana, prasarana, fasilitas dan penyiapan lingkungan dari lembaga pendidikan yang sedang dipimpin.

Perlu juga ditopang oleh perencanaan yang matang, visioner, realistis dan strategis. Hal ini diserap melalui verivikasi lewat pengamatan dan penelitian serta pertimbangan setelah mengadakan investigasi yang akurat terhadap kondisi objektip dan kekuatan yang dimiliki dalam rangka pengembangan sumber daya yang ada menuju keadaan yang lebih baik. Setelah itu dilakukan tentu pemimpin akan mendapat sebuah pilihan, maka keputusan itulah yang harus dilakukan bersama dengan koleha dan jajaran yang ikut bertanggung jawab dengan proses komunikasi yang sinergis untuk kemaslahatan bersama.

Benar memang, jika ditimbang dan diperdalam, secara teoritis konsep pengelolaan lembaga untuk bisa bangkit kembali sudah sangat banyak pilihan-pilihan, mulai dari teori kepemimpinan sampai teori pengelolaan organisasi, seperti teori SWOT, menejemen konplik dan sebagainya. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan pendidikan, bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang mengelola sumber daya manusia, artinya seluruh aktifitas dan kinerja bertujuan untuk memberdayakan manusia, maka kunci sukses sangat tergantung kepada ketulusan hati sang pemimpin yakni kemampuan berkomunikasi dengan baik serta ikhlas berbuat karena Allah yakni didorong oleh keinginan agar nilai-nilai Rabbaniah berjalan dalam kehidupan. Artinya dalam mengelola pendidikan Islam nilai-nilai aksiologislah paling dikedepankan dibanding dengan nilai metodologisnya.

Patut menjadi pertimbangan upaya yang dilakukan di UIN Malang sebagai salah satu lembaga yang sangat spektakuler pertumbuhannya, yang pada awalnya adalah Fakultas Tarbiyah cabang IAIN Sunan Ampel Malang, menjadi STAIN Malang, dan melompat jadi UIIS dan terkhir menjadi UIN Malang dengan Surat Keputusan Presiden tanggal 21 Juni 2004 ditanda-tangani Surat Keputusan Presiden RI Nomor 50 tentang Perubahan Status STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang.[15] Lompatan itu berlangsung hanya berkisar enam tahun, dan kini telah berdiri megah dan mengagumkan, bukan saja dikalangan Perguruan Tinggi Agama Islam, akan tetapi termasuk Universitas Negeri dan Swasta di bawah diknas, terbukti dari banyaknya kegiatan yang diminta kepada Rektor dan para dosennya menjadi nara sumber diberbagai even kegiatan pelatihan dan pencerhan kalangan sivitas akademika.

Belajar dari UIN Malang, tentu kunci kesuksesan adalah berada pada diri seorang Prof. Dr. H. Imam Suprayogo yang tampil bagaikan Imam Khomainy dan pelanjutnya Ahmaddinejat di Iran yang berjalan dengan kesederhanaan bermodal keyakinan dan istiqomah dalam sinaran cahaya Ilahi. Seperti penjelasan beliau sendiri bahwa UIN Malang dibangun adalah diatas fondasi :

1. Adanya Semangat Berubah dan Berprestasi yang muncul secara total warga.
Beliau menuturkan[16] bahwa : Sejak berubah menjadi sekolah tinggi, kampus ini seperti memiliki semangat dan jiwa baru sebagai modal untuk tumbuh dan berkembang. Semua warga kampus memiliki kesadaran bersama, bahwa kampus ini harus berubah, berkembang untuk meraih prestasi. Rasa memiliki bersama kampus secara mendadak tumbuh di kalangan dosen, karyawan maupun mahasiswa. Jika ada pertemuan, semua yang diundang hadir, sekalipun undangan itu pada malam hari. Saya sendiri sebagai ketua STAIN Malang ketika itu heran, mengapa begitu mudahnya menggerakkan orang. Selain itu rasa cinta terhadap kampus tumbuh secara bersama-sama. Kecintaan terhadap kampus juga dibarengi dengan kerelaan untuk berkorban. Seolah-olah warga kampus sedang menemukan momentumnya untuk bangkit dan bergerak membesarkan perguruan tinggi Islam ini. Antar warga kampus bersatu, di antara mereka tidak lagi melihat seseorang dari kelompok mana, Muhammadiyah atau NU, atau tidak NU dan juga tidak Muhammadiyah. Mereka yang berlatar belakang berbeda itu saling melepaskan paham kulturalnya dan kemudian menyatukan dalam ikatan yang sama, yaitu sebagai warga Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang. Sebagai kelanjutan dari semangat tumbuh dan berkembang, muncul beberapa kegiatan, baik yang bersifat akademik maupun kultural tumbuh hingga berhasil memperkukuh dan mengobarkan semangat warga kampus….. Label-label kultural yang sebelumnya menjadikan warga kampus terpilah-pilah menjadi menyatu kembali. Sebutan kita dan mereka, jama’ah kita dan jama’ah mereka menjadi hilang. Semua warga kampus hanya menginginkan adanya perubahan dan kemajuan. Suasana saling menjaga, menghargai, menolong atau membantu dan kerjasama tumbuh dan indah.

2. Adanya jalinan kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah dijalin hubungan kerjasama baik dengan Departemen Agama, Pemerintah Daerah maupun dengan berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam negeri maupun luar negeri. Kerjasama ini sangat besar artinya untuk membangun rasa percaya diri, merasa bisa dan merasa sama dan setara dengan institusi lain yang lebih dahulu berkembang. Melalui komunikasi secara terbuka, STAIN Malang menjadi dikenal dan bahkan dihargai oleh perguruan tinggi lain. Tidak sedikit perguruan tinggi, khususnya dari kalangan Departemen Agama datang ke STAIN Malang untuk studi banding dan bahkan mengikuti program-program kegiatan pengembangan akademik, seperti pelatihan managemen pendidikan tinggi, pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab, penelitain dan pengabdian masyarakat dan lain-lain. Selain itu mulai dosen UIN Malang diundang ke beberapa perguruan tinggi Islam untuk memberikan pelatihan-pelatihan. Semua ini menjadi kekuatan sekaligus menumbuhkan semangat maju dan rasa percaya diri yang kokoh itu…. Kunci keberhasilan sebuah perjuangan, bukan sebatas modal kepintaran dan kerja keras, tetapi semua itu masih harus disempurnakan dengan dua hal lainnya, yaitu berupa semangat memberi dan berkorban.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin lembaga pendidikan Islam harus memiliki kecakapan sosial, yakni kemampuan berkomunikasi dan memotivasi setiap orang yang ikut dalam gerbong kepemimpinan serta ketulusan dan keikhlasan bahwa semua pekerjaan dilakukan bermotiv ibadah kepada Allah SWT, sehingga terlihat bahwa secara internal disenangi karena kepiawiyan dalam berkomunikasi dan mengorganisir kinerja sehingga muncul team kerja kolektip yang tangguh secara internal dan kemampuan berkomunikasi dalam mengajak stakeholder untuk berkontribusi dan ikut bertanggung jawab terhadap jalannya organisasi. Artinya seorang Pak Imam di UIN Malang menjadi pemimpin yang merekatkan seluruh potensi dan penorobos jalan dalam merajut jalinan kerjasama dengan pihak luar.

A.Malik Fajar,[17]dalam salah satu pikiran yang dikemukakannya, bahwa dalam memimpin lembaga pendidikan Islam itu, pungkas beliau : “Oleh karena itu, kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam yang mampu memainkan peran strategis dan memperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti yang berkaitan dengan hal-hal berikut ini. Pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya. Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan dalam sistem pengelolaan atau manajemen. Keempat, peningkatan SDM yang diperlukan.”

Pikiran di atas memberi petunjuk bahwa dalam mengelola lembaga pendidikan Islam harus ditempuh empat langkah seperti di atas. Dalam bahasa yang lebih sederhana, seorang pimpinan harus terlebih dahulu merumuskan dan memahami secara seksama apa cita-cita dan tujuan lembaga itu didirikan, artinya harus dengan jelas memberi jawaban terhadap pertanyaan tentang apa/semacam apa yang akan diproduk dari lembaga itu. Dengan jelasnya jawaban terhadap pertanyaan ini, maka akan dapat terpenuhi hajat sosial yang lebih fungsional, artinya lembaga dan program yang dilakukan benar-benar menjadi kebutuhan hidup manusia, baik ia secara akademis, personal maupun profesional/fungsional. Karena bukan tidak jarang banyak sekali dari lembaga pendidikan Islam mengasuh berbagai kajian dan disiplin padahal produk kajian belum memenuhi hajat kehidupan seperti diungkapkan di atas. Sebagai salah satu contoh, lembaga pendidikan Madrasah Aliyah, dengan model program dan jurusan seperti SMA yakni IPA, IPS dan Humaniora, sesungguhnya tidaklah selamanya ini tepat, padahal secara umum disadari bahwa peserta didik yang masuk kelembaga Madrasah adalah generasi yang relatip dari keluarga kurang mampu, sementara jalur yang dikembangkan dalam belajar adalah jalur akademik, padahal bagi mereka sesungguhnya perlu diberi hal-hal yang bersifat keterampilan hidup dan sosial atau profesionalitas, sehingga banyak sekali lulusan Madrasah menjadi unskilled ketika sudah lulus dan tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Maka Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) sudah selayaknya dirintis pembukaannya. Demikian juga di Perguruan Tinggi, banyak jurusan dan prodi yang terus dibuka sementara secara fungsional lulusan semacam itu sudah over produksi, seperti kajian yang bersifat sosial terkecuali dengan sangat meyakinkan bahwa lulusannya dengan nyata punya nilai plus. Oleh karena itu prodi sains dan teknologi dengan epistemologi Islami justru harus dikejar dan upaya link and meach tidak boleh ditinggalkan.

Hal lain yang harus dilakukan adalah pemberdayaan kelembagaan yakni mengorganisir lembaga dengan efektif dan efisien serta tata kelola yang kondusip dengan daya dukung kualitas sumber daya yang handal. Dalam konteks kepemimpinan, maka lembaga pendidikan bermutu itu punya karakter seperti ungkapan Arcaro S Jerome, bahwa terdapat lima karakteristik sekolah (lembaga pendidikan) yang bermutu yaitu : 1). Fokus pada pelanggan. 2). Keterlibatan total 3). Pengukuran 4). Komitmen 5). Perbaikan berkelanjutan[18]

Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu. Oleh karena itu komitmen jama’i amat dipentingkan serta evaluasi kinerja dalam perbaikan berkelanjutan sepanjang waktu sebab setiap saat perubahan terjadi dan kekuranganpun makin disadari. Seperti dijelaskan Suryadi Poerwanegara[19] menyampaikan ada enam ungsur dasar yang mempengarui suatu produk : 1) Manusia 2) Metode 3) Mesin 4) Bahan 5) Ukuran 6) Evaluasi Berkelanjutan.

Pemimpin lembaga pendidikan Islam, merupakan motivator, event Organizer, bahkan penentu arah kebijakan lembaga yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Untuk mewujutkan hal tersebut maka seorang pimpinan perlu mengunakan konsep Manajemen Mutu Terpadu (MMT).

Manajemen adalah pengaturan yang dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu, jadi manajemen itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management) dalam kontek pendidikan merupakan sebuah filosofi metodologi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan, saat ini maupun masa yang akan datang[20]. Sedangkan Pidarat, menyampaikan bahwa TQM merupakan suatu sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi[21]. Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, tenaga kerja, proses, dan lingkungan[22]

Pada hakekatnya tujuan institusi pendidikan adalah untuk menciptakan dan mempertahankan kepuasan para pelanggan dan dalam TQM kepuasan pelanggan ditentukan oleh stakeholder lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena hanya dengan memahmi proses dan kepuasan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai kualitas. Semua usaha / manajemen dalam TQM harus diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan manajemen tidak ada gunanya bila tidak melahirkan kepuasan pelanggan.

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan masih banyak kegagalan, ini disebabkan antara lain ; masalah manajemen pendidikan yang kurang tepat, penempatan tenaga tidak sesuai dengan bidang keahliaannya (termasuk didalamnya pengangkatan pimpinan tidak melalui uji kemampuan yang professional bahkan hanya mengutamakan dan ditentukan nuansa politis dari pada profesionalisme), penanganan masalah bukan pada ahlinya, pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran yang tersedia, sehingga tujuan pendidikan belum dapat diwujudkan secara signifikan. Menurut Sidi[23] telah diupayakan tidak kurang 12 strategi pembangunan pendidikan nasional, antara lain 1). Menerapkan perencanaan berbasis kompetensi lokal. 2). meningkatkan pemerataan pendidikan. 3). menetapkan sistem manajemen mutu secara menyeluruh. 4). meriview kurikulum secara pereodik serta mengembangkan implementasi kurikulum secara kontinyu. 5). merancang proses penerapan pendekatan dan metode serta isi pendidikan yang memberi kesempatan luas kepada peserta didik dan warga belajar untuk mengembangkan potensi kemampuannya secara luas. 6). meningkatkan system manajemen sumber pendidikan yang lebih adil dan memadai serta mendayagunakan dan memobilisasi sumber dana secara efisien. 7). Menyusun rambu-rambu kebijakan pengembangan program pendidikan yang luwes. 8). Membuat peraturan perundangan yang mengatur perimbangan peran pemerintah dan non pemerintah dalam pendidikan secara komprehensif. 9). Mengurangi unit birokrasi yang dipandang kurang bermanfaat. 10). Mengupayakan secara konsisten dukungan dana yang memadai terutama untuk prioritas program pendidikan sebagai public goods. 11). menjaga konsistensi dan berkelanjutan internalisasi nilai-nilai pendidikan nasional diantara tiga pusat pendidikan ; yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dan 12). Mengkaji pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada life skill. Inilah salah satu yang harus dipertimbangkan seorang pimpinan dalam mengelola lembaga pendidikan.

PENUTUP

Permasalahan pendidikan Islam dalam lingkup pengelolaan manajemen adalah mencakup wilayah internal dan eksternal. Secara internal selalu dihadapi kendala perpecahan atau sulitnya persatuan yang utuh. Ini diakibatkan telah mendarah dagingnya perselisihan ditubuh umat Islam dengan menyeruaknya aliran dan pemahaman mazhab. Maka sampai saat ini keadaan itu masih terpelihara dengan utuh dan tidak memandang tingkat pendidikan, bahkan pada lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi sekalipun fenomena itu cukup dirasakan, apalagi untuk menentukan siapa menjadi pimpinan adalah melalui proses demokrasi ala kampus, maka percikan api perseteruan otomatis tidak terelakkan. Belum lagi lemahnya sumber daya manusia para pemegang otoritas kepemimpinan itu sendiri, menyebabkan sistem administrasi dan managemen sungguh sangat lemah. Padahal kesatuan dan kerapiaan penata usahaan amatlah menentukan lancarnya proses pemungsian lembaga.

Sedangkan secara ekternal, bahwa diakui lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya adalah berada dibawah lingkungan Departemen Agama, maka otomatis tidak ikut dalam pola otonomi daerah, mengakibatkan lembaga Madrasah dan PTAI cendrung tidak menjadi bagian dari pembangunan pendidikan karena dianggap Madrasah dan PTAI adalah bagian Agama, dan tidak menjadi tanggung jawab Departemen yang membidangi Pendidikan Nasional. Oleh karena itu pemipin di lembaga pendidikan Islam sering tidak dilayani sebagai pemimpin dalam pendidikan, menyebabkan lembaga yang dipimpinpun tidak mendapat perhatian pemerintah daerah. Oleh karena itu dituntut; bagi setiap pemimpin dilembaga ini harus kerja keras untuk mensosialisasikan diri dengan membentukm jaringan kerja yang baik.

Artinya lembaga pendidikan Islam tampa didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki team work yang solid dan net work yang luas pendidikan Islam sulit menjadi baik apalagi unggulan. Maka pemimpin perlu menyadari ini, dengan secara tulus serta semangat pengorbanan agar duahal ini dapat dikondisikan, bila tidak lembaga pendidikan Islam akan tetap saja seperti apa yang ada selama ini.



[1]Alvin Tofler, The Third Wave, London, Pan Books, 1981, buku terlaris saat itu dari karya seorang Futurolog dunia terkemuka, sebagaimana dikutip oleh R.M.Roy Suryo “Indonesia Menyongsong Era Globalisasi” dalam Harian Kedaulatan Rakyat, (koran Jakarta) terbitan 7 Juli 1992

[2]Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap Madrasah, From: http://www. suaramerdeka. com/harian/0211/12/kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2009

[3]Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta, From: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm, accses, sabtu, 16 April 2009

[4]Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka, Yogyakarta. 1991, h.77

[5]Ibid

[6]Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta([Suatu Pengantar), (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), h. 11

[7]H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta, Bina Aksara,, 1991), h. 3

[8]Lihat Ahmat Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 197

[9]H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang, Tera Indonesia, 1999), h. 26-28

[10]By Republika Newsroom (Republika Online), Sistem Suara Terbanyak Picu Korupsi, Kamis, 05 Maret 2009 pukul 04:36:00

[11]Hujair A. H. Sanaky, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ilmu ilmu Sosial Unisia, Universitas Islam Indonesia, ( Yogyakaarta, No.62/XXIX/IV/2006 2006), h. 87

[12]Ahmad Tafsir, Op-Cit, 202

[13]Lihat tulisan , Hujair A. Sanaky, dalam Jurnal Al-Tarbawi, Permasalahan dan PenataanPendidikan Islam Menuju Pendidikan yang Bermutu, UII, (Yogyakarta, NO. 1. VOL. I. 2008), h. 83

[14]Ahmad Zayadi, Aspek Sosiologis dan Kepemimpinan pada PTAI , (Al-Madrasah , Tabloid Republika, volume 4, September 2008), h. 16-17.

[15]Penjelasan ini dapat dibaca pada teks Pidato Rektor, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, dalam Dies Natalis IV UIN Malang, Sabtu, 21 Juni 2008, sumber, www.imamsuprayogo.com, diakses 28 Oktober 2009.

[16]Pidato, sumber, www.imamsuprayogo.com, diakses 28 Oktober 2009.

[17]Ahmad Barizi, M.A, (editor), Holistik Pemikiran Pendidikan (A. Malik Fadjar), (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 250

[18]Lihat Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001) h.13

[19]Suryadi Poerwanegara, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta, PT.Bumi Aksara, 2002) h. 12

[20]Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (Pitman Publishing, London, United Kingdom 2006), h. 73

[21]Pidarta, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2004), h. 4

[22]Nasution.M.N. ( 2004 ) Manajemen Mutu Terpadu, ( Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004), h. 18

[23]Sidi, Strategi Pendidikan Nasional, Makalah, disampaikan pada simposium dan musyawarah Nasional 1 Alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang tanggal 13-14 oktober 2001 di Malang.

SEJARAH PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH UMUM

A. Pendahuluan

Pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang

untuk mempengaruhi dan membimbing seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi matang dan dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental, spiritual, material dan tatanan serta lingungan hidup.

Pendidikan agama Islam adalah upaya mendidik orang atau peserta didik untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi pandangan dan merupakan sikap hidup seseorang. Pendidikan agama ini sudah mestinya diberikan kepada anak didik utamanya peserta didik pada Lembaga/Sekolah Umum sebagai lanjutan pendidikan yang diterima di dalam lingkungan rumah tangga.

Maka dalam makalah ini, penulisan akan uraikan sedikit tentang sejarah menyelenggaraan pendidikan agama Islam pada sekolah umum tersebut, sejak zaman penjajahan sampai alam Indonesia merdeka saat ini.

B. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pendidikan agama Islam adalah sebagai usaha, yakni suatu kegiatan

bimbingan, pengajaran dan latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak di capai.[1]

Di dalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan Agama

Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan, dan mengamalkan Agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati Agama lain dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[2]

Komponen yang menentukan dalam pelaksanaan pendidikan adalah

unsur pendidik, sebagai pelaksanaan proses mengarahkan dan membina potensi anak. Peran pendidik (Guru dan Orang tua) sangat menentukan sekali untuk keberhasilan sekolah.[3]

Seperti halnya pada pendidikan Informal dan Formal, dimana pada pendidikan

Formal yang sangat berperan menentukan pendidikan bagi anak utamanya pendidikan agama anak adalah orang tua, kemudian pada sekolah yang paling berperan adalah guru. Oleh sebab itu guru sebagai pendidik harus mampu mewujudkan pendidikan agama anak di sekolah lebih lanjut, dalam artian lain pendidikan agama di sekolah harus mendapatkan perhatian yang lebih serius mecermati pengembagan potensi anak dan bahan pendidikan dan pengajaran yang disajikan.

Dengan demikian pendidikan agama Islam itu adalah usaha mendidik yang dilakukan guru agama Islam dalam rangka menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya. Dengan demikian seseorang yang sudah mendapat pendidikan agama Islam maka mereka akan dapat mewujudkan kehidupan yang baik untuk keselamatan dan kesejahteraannya dalam dunia ini sampai akhirat kelak.

C. Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Pemahaman tentang pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu Pendidikan Agama Islam sebagai aktivitas dan Pendidikan Agama Islam sebagai fenomena. Dalam kaitan aktivitas adalah bahwa pendidikan agama itu menjadi sebuah pekerjaan yang diorganisir sedemikian rupa sehingga menjadi kegiatan yang memiliki tujuan, usaha mencapai tujuan, teknik atau metode pendidikan, sarana-prasarana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan terselenggaranya usaha mencapai target yang ditetapkan menyangkut dengan Pendidikan Agama Islam tersebut. Sedangkan sebagai fenomena ini maksudnya bagaimana agar nilai-nilai pendidikan Islam itu menjadi sesuatu yang dibiasakan dalam kehidupan sehingga membentuk sebuah tatanan dan iklim dalam kehidupan sehari-hari.

Munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan tentang Pembinaan Pendidikan

Agama Islam secara terpadu pada sekolah umum, pengembangan dan peningkatan kualitas Madrasah, Pesantren, IAIN/STAIN, kegiatan Pesantren Kilat di sekolah umum, serta pendidikan agama Islam di perguruan tinggi dan sebagainya,adalah beberapa contoh manifestasi dari usaha-usaha ahli dan pemerhati pendidikn agama Islam agar pelaksanaan pendidikan Islam tersebut berjalan dengan efektif sehingga pencapaian hasil yang diharapkan dapat terwujud secara maksimal.

Dalam kaitan itulah sehingga Kurikulum Pendidikan Agama Islam itu dikembangkan dan dibina sehingga pelaksanaannya terorganisir sebagaimana mestinya. Termasuk dalam pengoptimalan dan pensejajaran Pendidikan Agama Islam dengan mata pelajaran lain di setiap sekolah, maka secara nasional Pendidikan Agama Islam ini menjadi mata pelajaran wajib yang harus diberikan, sehingga kedudukannya sama dengan Pancasila dan Bahasa Indonesia yakni mata pelajaran pembentukan kepribadian bangsa.[4]

Hal ini diberikan adalah untuk memberi bekal agar anak didik di setiap sekolah memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi kepribadian mereka yakni yang akan menghantarkan mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia yang mampu menghargai dirinya, keluarganya, masyarakatnya, malah dapat menjalin hubungan baik dengan semua pemeluk agama termasuk dengan penduduk yang non-muslim.

D. Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Telaah Historis dan Dinamika Perkembangannya)

Dalam catatan sejarah pendidikan agama Islam di sekolah mempunyai sejarah perkembangan yang cukup panjang. Pada masa pra kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah yag pertama kali di Ambon pada tahun 1607, dari masa inilah dikenal istilah dan pendidikan Sekolah di Indonesia hingga saat ini. Secara historis, awal pendidikan sekolah penekanan mata pelajaran hanya kepada pelajaran umum, sedangkan posisi dan perkembangan agama dalam tradisi sekolah baru pada awal abad ke-20 M.[5] Karena memang basis pendidikan di Indonesia ketika itu adalah Pesantren, yang hamper dapat dipastikan mata pelajaran di sana adalah Agama.

Setelah era kemerdekaan, pendidikan agama di sekolah mulai mendapatkan

perhatian yang serius. Hal ini terjadi karea kebijakan pemerintah yang sangat positif terhadap pelajara agama. Kebijakan itu dilandasi oleh dua hal:

Pertama adalah landasa Filosofi Pancasila dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut setiap warga untuk beragama, tentu beragama yang baik adalah diawali dengan pendalaman materi pengetahuan agama.Yang kedua landasan Konstitusional yaitu UUD 45 dimana pada pasal 29 ditegaskan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa da setiap rakyat Indonesia diberi kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang di anutnya.

Melalui mata pelajaran agama, perilaku peserta didik diharapkan sesuai dengan substansi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa yakni disamping memahami ajaran agama juga untuk mampu mengamalkannya.Untuk itu, Pemerintah melalui sejumlah regulasi atau perundangan mangatur penyelenggaraan mata pelajaran agama menjadi salah satu bidang studi yang wajib di ajarkan pada seluruh jenis, jalur dan jenjag pedidikan,tanpa kecuali termasuk sekolah umum.

Berkenaan dengan itu, maka pendidikan agama Islam disekolah umum dapat

dibagi kedalam dua fase, yaitu fase sebelum kemerdekaan, yakni era pejajahan Belanda dan Jepang, kemudian fase sesudah kemerdekaan .

1. Pendidikan Islam di Sekolah Umum sebelum Kemerdekaan

- Pada Masa Kolonial Belanda

Setelah Varenigde Oost Indische Compangnie (VOC) dibubarka, semua

kekayaan atau asset lembaga ini jatuh ketangan Belanda .Demikia juga dengan daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintaha Belanda. Pendidikan pada masa ini tidak berkembang, malah sebaliknya menunjuknya suatu kekosongan sampai permulan abad ke-18, selanjutnya,selama setengah abad pertama abad ke-18 baru ada penyelenggaraan pendidikan yang diresapi ole hide liberal, itu pun khusus untuk anak-anak Belanda di Jakarta, baru kemudian diikuti kota-kota lain di Indonesia.[6]

Kebijakan pendidikan liberal yang menganut politik etis membuka kesempatan

bagi anak-anak Indonesia (pribumi) memasuki sekolah, khususnya pendidikan rendah. Sejak dibukanya kesempatan ini, sedikitnya telah terdapat murid yang beragama Islam. Mencermati kondisi seperti ini, wakil-wakil rakyat pribumi, mengusulkan kepada pemerintaha Belanda agar pendidikan agama di masuki sebagai mata pelajaran di sekolah umum, namun tetap ditolak, alasan penolakan itu dikarenakan pemerintah Hindia Belanda menyataka sikap netral terhadap agama, selain penolakan tersebut umat Islam juga merasa tertekan atas kebijakan yang ditetapka oleh Belanda, hal ini dikarenakan adanya beberapa hal yaitu :

a) Ordonasi tahun 1905 yang mewajibkan guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin tertulis dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.

b) Ordonasi tahun 1952 yang mewajibkan guru agama melaporkan diri,dengan syarat bebas untuk tidak mengikuti pelajaran agama jika orang tuanya merasa keberatan.

- Pada Masa Pemerintahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, Pendidikan agama Islam lebih bebas gerak pelaksanaannya, meskipun belum memperoleh perhatian serius dalam hal pemberdayaan program pengajaran disekolah-sekolah hal ini dikarenakn jepang tidak begitu menghiraukan agama, yang terpenting mereka adalah bagaimana mendapatkan bantuan umat islam untuk memenangkan Perang Dunia II.[7]

Selain itu pada masa penjajahan Jepang, para pemuka agama pun diberi kekuasaan dalam mengembangkan islam seperti berdirinya Kantor Urusan Agama dan Organisasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).Akan tetapi, secara umum meskipun di beri kebebasan, namun pelaksanan pendidikan tetap terbengkalai karena murid-murid setelah sekolah hanya di suruh gerak badan baris berbaris dan kerja bakti.

2. Pendidikan Agama di Sekolah Umum Pasca Kemerdekaan

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, sikap religius telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yaitu sebelum kemerdekaan. Bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan bukti nyata terhadap sikap beragama tersebut.

Maka pada tanggal 1 juni 1945 Bung Karno di muka sidang Badan Usaha Penyelidik Usaha Kemerdekaan menyatakan bahwa betapa pentingnya setiap bangsa Indonesia memiliki rasa kesadaran ketuhanan, dan mengajak setiap bangsa Indonesia mengamalkan agamanya masing-masing.[8] Ada beberapa fase tentang pelaksanaan pendidikan agama ini, yaitu :

a. fase 1945-1965

Sesudah Kemerdeaan Indonesia diproklamirkan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Ketuhana Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila. Sila ini merupakan manifestasi dari sikap hidup religius tersebut. Salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah Negara berdasarkan atas Ketuhana Yang Maha Esa, atas dasar itu pulalah didalam batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 diatur hal yang berkenaan dengan ketuhanan, yakni pada pasal 29 ayat 1 dan 2.

Untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka pada tanggal 3 januari 1946 pemerintah membentuk Departemen Agama. Dengan tujuan untuk memberlakukan pendidikan agama di sekolah sekolah umum, setelah Departemen Agama terbentuk, umat Islam yang duduk dalam BPKNIP pada tanggal 27 desember 1945, mengusulkan kepada kementerian pengajaran agar pengaharan agama hendaklah mendapat tempat yang teratur, seksama dan perhatian yang sama dalam dunia pendidikan. Usul ini ditanggapi oleh mentri PKK (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Ki Hajar Dewantara dengan membentuk Panitia Penyelidikan Pengajaran pada tanggal 1 maret 1946. Mengenai pendidikan Islam Panitia itu menegaskan:

1. Hendaknya pelajaran agama diberikan pada semua sekolah dalam jam pelajaran di mulai dari sekolah rakyat kelas IV.

2. Guru agama disediakan oleh kementrian agama dan dibayar oleh pemerintah

3. Guru agama harus mempunyai pengetahuan umum dan untuk maksud itu harus ada pendidikan agama.

4. Pesantren dan madrasah dipertinggi mutunya

5. Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu

6. Pengajaran bahasa arab tidak dibutukan[9]

Usul tersebut diterima setelah kemudian dilanjutkan dikeluarkan peraturan bersama antara Menteri Agama, dan Menteri PP dan K mengenai teknis pelaksanan pendidikan agama disekolah, sehingga dengan dikeluarkannya peraturan itu, maka secara formal pendidikan agama telah memiliki landasan juridis. Selanjutnya pada tahun 1960 hasil siding MPRS menyatakan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran disekolah-sekolah umum dimulai dari sekolah dasar sampai Universitas dengan ketentuan murid berhak tidak serta dengan pendidikan agama jika wali atau orangtuanya menyatakan keberatan.Walaupun begitu perkembangan ini menunjukkan perhatian terhadap pendidikan agama semakin meningkat, sekalipun masih ada pernyataa bahwa ada kesempatan untuk tidak mengikutinya.

Meskipun sejumlah regulasi yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama telah di undangkan pemerintah, namun usaha-usaha positif pemerintah masih menuai kritik dan menimbulkan kekurang puasan masyarakat.

Setelah gagal gerakan G 30 S PKI melakukan pemberontakan pada tahun 1965, pemerintah dan rakyat Indonesia semakin menunjukkan perhatian yang besar terhadap pendidikan agama, sehingga kedudukan pendidikan agama disekolah umum menjadi lebih baik dan menentukan pada tahun berikutnya[10].

b. .Fase 1966-1988

Setelah pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965 berhasil ditumpas, pemerintah dan masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan agama, sebab disadari bahwa dengan bermentalkan agama yang kuat bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunis.[11]

Melalui sidang MPRS tanggal 5 uli 1966 dihasilkan TAP MPRS

No.XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan dan kebudayaan. Bab I pasal I dari TAP MPRS tersebut berbunyi”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib disekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Univertsitas-Universitas Negeri”[12]

Ketetapan MPRS tersebut kemudian mengubah ketetapan hasil sidang MPRS tahun 1960 dengan mewajibkan para mahasiswa mengikuti pengajaran/kuliah agama, serta mereka tidak di izinkan lagi untuk tidak mengikutinya. Dengan keputusan tersebut, pengajaran materi pendidikan agama mulai diwajibkan dari kelas I Sekolah Dasar.

Ketetapan MPRS tahun 1966 selanjutnya di ikuti dengan peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967, menetapkan bahwa kelas I dan II SD diberikan matapelajaran agama sebanyak 2 jam perminggu, kelas III sebanyak 3 jam perminggu, kelas IV keatas sebanyak 4 jam perminggu hal itu juga berlaku pada SMP dan SMA.Untuk Universitas dan Perguruan tinggi lainnya, mata kuliah agama diberikan 2 jam perminggu.

Pada akhir tahun 1970, Menteri Agama berusaha mengubah kurikulum pengajaran agama dengan tujuan agar semua kelas tertinggi SD dan SMP mendapat 6 jam pelajaran agama perminggu.Tetapi usaha tersebut tidak berhasil, karena Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak menyetujuinya. Meskipun begitu pendidikan agama sebagai salah satu bidang studi yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah-sekolah negeri tetap dibina dan digalakkan dalam usaha mangembangkan kehidupan beragama.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya, yakni lahirnya TAP MPR 1983, dalam menyusun tentang GBHN, nampaknya pemerintahan Orde Baru memiliki tekad dan semangat dalam mengembangkan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia, sehingga menempatkan pendidikan agama sebagai materi pelajaran yang benar-benar diperhitungkan dalam proses pembelajaran disekolah-sekolah umum. Karena pendidikan agama dijadikan sebagai salah satu pelajaran yang akan membentuk kepribadian anak didik.

c. Fase 1989-2002

Pada tahun 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan agar Indonesia memiliki landasan konstitusi dalam pelaksanaan pendidikan termasuk dalam memperkuat kembali posisi mata pelajaran agama disekolah umum. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 39 Ayat 2, yakni:Isi Kurikulum setiap jenis dan jalur pendidikan wajib memuat pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.[13]

Dari pernyataan demikian mengandung arti bahwa pendidikan agama adalah dasar dan inti kurikulum pendidikan Nasional yang tidak bisa dipisahkan dari bidang studi wajib lainnya. Kemudian Bab V Pasal 9 Ayat 1 PP omor 27 tahun 1990 sebagai turunan UUSPN nomor 2 tahun1989 ini yang manyatakan bahwa pelaksanaan Pendidikan agama tidak hanya diajarkan dari mulai kelas 1 SD, tetapi Pendidikan agama sudah wajib sejak taman kanak-kanak.[14]

Pemberlakuan USPN nomor 2 tahun 1989 pada Pasal 39 Ayat 2 yang menegaskan bahwa: Pendidikan agama harus merupakan usaha memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik, yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan umat beragama dalam masyarakat untuk menciptakan persatuan Nasional.

Dengan adanya perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan agama, sebagaimana tertera dalam USPN yang dijiwai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka stasus pendidikan agama tidak dibedakan lagi dari pendidikan pada umumnya, dengan demikian pendidikan agama disekolah umum sudah kuat. Bahkan Undang Undang ini sebenarnya sudah dapat menjadi landasan bahwa pendidikan agama harus menjadi dasar dan prinsip filosofis pendidikan secara menyeluruh sehingga agama harus dijadikan prinsip, ikatan dan iklim pendidikan.

d. Fase 2003-sekarang.

Pada tanggal 8juli 2003, Preside Megawati Soekarno Putri menanda tangani pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia (Sisdiknas). Secara umum, pada satu sisi Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini sarat akan nuansa nilai-nilai agama. Kemudian pada sisi lain, secara eksplisit, Undang-Undang ini menegaskan kedudukan kelembagaan pendidikan agama dan pelaksanaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib untuk setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.

Dalam kaitannya dengan pendidikan agama sebagai mata pelajaran, BabV Pasal 12 Ayat 2 menegaskan bahwa “Setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yag dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama[15]. Kemudian pada Pasal yang lain, yaitu pada Pasal 37 Ayat 1dan 2, mempertegas secara eksplisit posisi mata pelajaran agama dimana dinyatakan bahwa kurikulum satuan pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi wajib memuat pendidikan agama.

Pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan (SPN) yang mencakup standar tentang isi, proses, kompensi lulusan, pendidikan dan tenaga pendidikan. Artinya pasal-pasal yang mengatur seluruh standar tersebut, pendidikan agama, baik secara kelembagaan maupun bidang studi, tidak dibedakan lagi dengan pendidikna umum. Dengan demikian terlihat jelas bahwa posisi atau keberadaan pendidikan agama semakin kuat dan di jamin dalam Perundang-undangan dalan Pendidikan Nasional Indonesia.

E. Kesimpulan

Fakta historis memperlihatkan bahwa pendidikan agama di sekolah umum, mulai masa pemerintahan Belanda sampai sekarang, memiliki sejarah dan dinamika yang cukup panjang. Pada masa kolonial Belanda, pendidikan agama belum mendapatkan tempat sebagai mata pelajaran yang bersifat formal di sekolah umum. Kemudian pada masa penjajahan Jepang sekali pun pelaksanaan pendidikan Islam di berikan kebebasan namun secara umum pelaksanaan pendidikan dapat dikatakan terbengkalai, sebab sekolah-sekolah lebih diarahkan pemerintahan untuk kepentingan persiapan perang seperti gerak jalan, kerja bakti (Romusa) dan berbgai kepentingan lainnya.

Setelah Indonesia merdeka, pelaksanaan agama di sekolah umum diatur dalam sejumlah regulasi atau perundagan. Dalam sejumlah regulasi tersebut, sampai perkembangan saat ini, pelaksanaan pendidikan agama telah menjadi bagian integral dari isi dan kurikulum pendidikan, dari mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Maka tidak ada satu alasanpun bagi setiap lembaga pendidikan untuk menyianyiakan pelaksanaan pendidikan agama Islam ini.



[1] Muhaimin, Pendidikan Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002), h. 76

[2] Ibid

[3] Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Hijri Pustaka Utama, 2006), h 68

[4] Dapat dilihat Keputusan Mendiknas No. 428 Tahun 2003

[5] Muhammad Darwis Dasopang dalam Al-Rasyidin (ed), Pendidikan dan Psikologi Islam, (Bandung), Cita Pustaka Media, 2004 ), h.51

[6] Ibid, h. 52

[7] Ibid, h. 54

[8] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2004), h. 144

[9]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Kalam Mulia, 1990), h. 12-13

[10]Haidar Putra Daulay, Op-Cit, h.147

[11]Ibid, h. 148

[12] Al-Rasyidin, (ed), Op-Cit, h. 58

[13]Lihat Undang-undang No 2 Tahun 1989.

[14]Ibid

[15]Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.